Senin, 29 November 2010

Budidaya Ikan Nila Merah

Nila merah dikenal juga sebagai nila merah taiwan atau hibrid antara homorum dengan mossombicus yang diberi nama ikan nila merah florida. Ada yang menduga bahwa nila merah merupakan mutan dari ikan mujair. Ikan ini masuk ke Indonesia pada tahun 1981 dari Filipina dan tahun 1989 dari Thailand.

Budi daya nila merah telah berkembang di beberapa daerah, bahkan produksinya telah diekspor ke Eropa dan Amerika Serikat. Dagingnya putih serta tebal. Rasanya enak, seperti ikan kakap merah. Di beberapa negara Eropa, daging nila merah dimanfaatkan sebagai substitusi bagi daging kakap merah.

Dalam budi daya, ikan nila merah mempunyai keunggulan antara lain 1) ikan nila merah respon terhadap pakan buatan, 2)pertumbuhan cepat, 3) dapat hidup dalam kondisi kepadatan tinggi, 4) nilai perbandingan antara konsumsi pakan dan daging Yang dihasilkan lebih rendah, 5) tahan terhadap penyakit dan lingkungan perairan yang tidak memadai, 6) rasa dagingnya enak dan banyak digemari masyarakat.

A. Sistematika
Famili : Chiclidae
Spesies : Oreochromis niloticus
Nama dagang : red tilapia
Nama lokal : kakap merapi, mujarah

B. Ciri-ciri dari Aspek Biologi
1. Ciri fisik
Tubuh ikan agak bulat dan pipih. Mulut terletak di ujung kepala (terminal). Garis rusuk (linea lateralis) terputus menjadi dua bagian dan terletak memanjang mulai dari atas sirip dada. Jumlsh sisik garis rusuk sebanyak 34 buah. Warna badan kemerahan polos atau bertotol-totol hitam dan sering pula berwarna albino (bule).

2. Pertumbuhan dan perkembangan
Nila merah bersifat beranak pinak dan cepat pertumbuhannya. Selain itu, ikan ini memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan kadar garam sampai 30 promil. Kedewasaan pertama tercapai pada umur 4-6 bulan dengan bobot 100-250 g. Jenis ikan ini dapat memijah 6-7 kali/tahun.

Seekor induk betina dapat menghasilkan telur sebanyak 1.000 - 1.500 butir. Saat pemijahan ikan jantan akan membuat sarang dan menjaganya. Telur yang telah dibuahi dierami oleh induk betina di dalam mulutnya. Penjagaan oleh betina masih terus dilanjutkan sampai seminggu setelah telur-telur tersebut menetas.

Di dalam karamba jaring apung ikan ini dapat mencapai ukuran di atas 250 g dalam waktu 4 bulan dari bobot awal sekitar 20 g. lkan jantan tumbuh lebih cepat dan lebih besar dibanding betinanya.

C. Pemilihan Lokasi Budi Daya

Sebagai ikan yang tergolong eurihalin, ikan nila merah dapat dibudidayakan di perairan tawar, payau, dan laut. Namun demikian, pada perairan dengan kadar garam tinggi (>29 ppt) ikan ini masih tumbuh baik, tetapi tidak dapat berkembang biak. Nila merah dapat tumbuh baik pada lingkungan perairan yang bersuhu antara 27-33 0 C; kadar oksigen terlarut >3 mg/l; pH 7-8,3; alkalinitas 90 — 190 mg/l; kesadahan 62-79 mg CaCO 3, kecepatan arus 10 -2o cm/dt, kecerahan >3 m, dan kedalaman air 10-20 M.

D. Wadah Budi Daya

Rakit sebagai tempat karamba dapat dibuat dari bahan kayu, pipa besi antikarat, atau bambu. Pelampung berupa drum plastik bervolume 200 l. Untuk satu unit KJA berukuran 5 m x 5 m, memerlukan 8-9 Pelampung karamaba dibuat dari jaring yang bahannya dari polietilen. Ukuran mata jaring tergantung dari ukuran ikan yang akan dipelihara. Pada setiap sudut karamba harus diberi pemberat dari batu atau semen cor seberat 2-5 kg. Jangkar diperlukan yang berfungsi untuk menjaga rakit agar tidak terbawa arus. Jangkar bisa terbuat dari besi, kayu, maupun coran semen.

E. Pengelolaan Budi Daya

1. Penyediaan benih
Pembenihan nila merah secara umum ditujukan untuk memproduksi benih campuran jantan betina. Mengingat ikan jantan mempunyai ukuran yang lebih besar dan laju pertumbuhan yang lebih cepat, banyak petani mengarahkan pada budi daya nila merah jantan. Oleh karena itu, para pakar budi daya perikanan telah berupaya menciptakan teknologi pembenihan nila merah jantan dengan penggunaan 6o mg hormon metiltestosteron yang dicampur ke dalam 1 kg pakan larva. Proses alih kelamin tersebut berlangsung selama 28 hari.

Pengangkutan benih sebaiknya dilakukan dengan sistem terbuka jika membutuhkan waktu kurang dari 4 jam. Sementara itu, apabila lebih dari 4 jam, pengangkutan dapat dilakukan dengan sistem tertutup menggunakan kantong plastik yang ditambahkan oksigen.

2. Penebaran
Penebaran benih dilakukan pada pagi atau sore hari agar kondisi udara tidak terlalu panas. Sebelum penebaran, harus diperhatikan kondisi kualitas air. Jika kualitas air pengangkutan beda dengan kualitas air lokasi budi daya, perlu dilakukan adaptasi secara perlahan-lahan terutama terhadap salinitas dan suhu. Padat tebar yang optimal untuk diaplikasikan adalah 500 ekor/m3 dengan bobot awal benih 15-20 g/ekor dan waktu pemeliliaraan 3 bulan untuk sistem budi daya tunggal kelamin (jantan saja).

3. Pemberian pakan
Pada waktu muda ikan ini pemakan plankton, baik plankton nabati maupun hewani. Beranjak dewasa ikan nila merah mulai makan detritus dan sering juga alga benang. Selain bersifat herbivore, ikan ini bersifat omnivore sehingga dapat diberikan pakan buatan (pelet). Ikan ini tanggap, terhadap pakan buatan (pelet), baik pelet tenggelam maupun terapung. Pakan buatan yang diberikan adalah pelet dengan kandungan protein 26-28% sebanyak 3% dari bobot badan per hari. Frekuensi pemberiannya 3 kali sehari, yaitu pagi, siang, dan malam.

F. Pengendalian Hama dan Penyakit

Untuk mengetahui jenis penyakit dan Cara pencegahannya, diperlukan diagnose gejala penyakit. Gejala penyakit untuk ikan nila merah yang dibudidayakan dapat diamati dengan tenda-tanda berikut.

a) Penyakit kulit Gejala
- Berwarna merah di bagian tertentu.
- Kulit berubah warna menjadi lebih pucat.
- Tubuh berlendir.

Pengendalian
1) Perendaman ikan dalam larutan PK (kalium permanganat) selama 3o-6o menit dengan dOSiS 2 g/10 l air. Pengobatan dilakukan berulang 3 hari kemudian.
2) Perendaman ikan dengan Negovon (kalium permanganat) selama 3 menit dengan dosis 2-3,5%.

b) Penyakit pada insang
Gejala
- Tutup insang bengkak.
- Lembar insang pucat/keputihan.

Pengendalian
- Cara pengendalian sama dengan penyakit kulit.

c) Penyakit pada organ dalam Gejala
- Perut ikan bengkak.
- Sisik berdiri.
- Ikan tidak gesit.
- Pengendalian

Cara pengendaliannya sama dengan penyakit kulit.
Adapun secara umum hal-hal yang dilakukan untuk dapat mencegah timbulnya penyakit pada budi daya ikan nila merah di KJA adalah sebagai berikut.

1. HIndari penebaran ikan secara berlebihan melebihi kapasitas.
2. Berikan pakan cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya.
3. Hindari penggunaan pakan yang sudah berjamur.

G. Panen

Ikan nila merah yang dipelihara dengan padat penebaran 50o ekor/m3 dapat dipanen setelah 3 bulan. Produksinya 85 kg/m3 dan sintasan 85%. Pemanenan ikan di KJA mudah dilakukan. Sistem pemanenan dapat dilakukan secara total atau selektif tergantung dari kebutuhan.

Panen harus dilakukan hati-hati untuk mencegah terjadinya luka akibat gesekan atau tusukan sirip ikan lainnya. Cara panennya adalah dasar karamba diangkat perlahan-lahan. Namun, salah satu sisi karamba harus tetap berada dalam air untak memungkinkan ikan berkumpul. Setelah itu, ikan yang sudah terkumpul disisi karamba diseleksi dan ditangkap dengan menggunakan seser secara perlahan-lahan.

sumber : Penebar Swadaya, 2008


www.jendelahewan.blogspot.com

PENYAKIT PATOGENESIS MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH YANG DISEBABKAN OLEH Staphylococcus aureus

penyakit pada sapi
Penyakit-penyakit Pada Sapi | Website Dunia Veteriner
Studi literatur: Pericarditis Traumatica pada Sapi duniaveteriner; 05.23.09; Kesehatan hewan, penyakit-penyakit pada sapi; penyakit pada sapiments Off MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH
duniaveteriner. penyakit pada sapi MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH tag MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH penyakit-penyakit-pada-sapi - patogen - Mirip
penyakit pada sapi
[PPT]
PENYAKIT PADA SAPI PERAH
Jenis Berkas: Microsoft Powerpoint - Versi HTML
PENYAKIT PADA SAPI PERAH. OLEH : Drh. Imbang Dwi Rahayu, MKes. imbang.staff.umm.ac.id. UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG. MASTITIS. Radang ambing pada sapi MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH
imbang.staff.umm.ac.id MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH files MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH 2010 MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH 01 MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH penyakit-pada-sapi.ppt - Mirip
penyakit pada sapi
[PDF]
PENYAKIT VIRAL PADA RUMINANSIA Prof. Roostita L. Balia
Jenis Berkas: PDF MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH Adobe Acrobat - Tampilan Cepat
Penyakit mulut kuku adalah penyakit akut dan sangat menular pada: Sapi, kerbau, babi, kambing, domba dan hewan berkuku genap lainnya. MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH
blogs.unpad.ac.id MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH roostitabalia MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH wp MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH penyakit-viral-pada-ternak-1.pdf - Mirip
penyakit pada sapi
VB6 Source Code - Sistem Pakar Diagnosa Penyakit pada Sapi
planetKode. penyakit pada sapi menjual source code program aplikasi Sistem Pakar (Expert System) dengan kasus Diagnosa Penyakit pada Sapi, full source code.
PENYAKIT PATOGENESIS MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH YANG DISEBABKAN OLEH Staphylococcus aureus .planetkode. penyakit pada sapi MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH Source-Code-VB6-Sistem-Pakar-Diagnosa-Penyakit-pada-Sapi.html - patogen
penyakit pada sapi
[PDF]
INVESTIGASI WABAH PENYAKIT PADA SAPI BALI DI KECAMATAN LONG IKIS MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH
Jenis Berkas: PDF MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH Adobe Acrobat - Tampilan Cepat
Kata kunci: wabah penyakit pada sapi Bali, Kalimantan Timur. ABSTRACT MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH . Angka mortalitas sapi Bali pada wabah penyakit di Kec. Long Ikis MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH
bppv-dps.info MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH _6_Wabah%20JD%20Kaltim%202005_Des2005.pdf - Mirip
penyakit pada sapi
INVESTIGASI WABAH PENYAKIT PADA SAPI BALI DI KECAMATAN LONG
30 Jul 2010 MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH INVESTIGASI WABAH PENYAKIT PADA SAPI BALI DI KECAMATAN LONG IKIS KABUPATEN PASIR KALIMANTAN TIMUR. (An Investigation of Bali Cattle Disease MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH
PENYAKIT PATOGENESIS MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH YANG DISEBABKAN OLEH Staphylococcus aureus .docstoc. penyakit pada sapi MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH INVESTIGASI-WABAH-PENYAKIT-PADA-SAPI-BALI-DI-KECAMATAN-LONG - patogen
penyakit pada sapi
PENYAKIT - Sapi Gila - Pusat Informasi Penyakit Infeksi
19 Mar 2005 MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH BENARKAH PENYAKIT SAPI GILA MENULAR PADA MANUSIA ? MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH Prion dikenal menyebabkan penyakit pada binatang yaitu penyakit sapi gila, MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH
PENYAKIT PATOGENESIS MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH YANG DISEBABKAN OLEH Staphylococcus aureus .infeksi. penyakit pada sapi MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH articles.php?lng=in&pg=49 - patogen - Mirip
penyakit pada sapi
Penyakit Pada Sapi « ZONA FARM
Penyakit Pada Sapi. 2010 MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH 04 MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH 16 zonafarm Leave a penyakit pada sapiment Go to penyakit pada sapiments. Penyakit Antraks. Penyebab penyakit ini adalah Bacillus anthracis yang menular MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH
zonafarm.wordpress. penyakit pada sapi MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH 2010 MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH 04 MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH 16 MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH penyakit-pada-sapi MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH - patogen
penyakit pada sapi
Pengendalian Penyakit Pada Sapi
30 Nov 2009 MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH Penyakit ngorok merupakan penyakit infeksius pada sapi dan kerbau yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida. MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH
ternakku. penyakit pada sapi MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH index.php?option= penyakit pada sapi_content&view MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH - patogen
penyakit pada sapi
MANGLAYANG FARM ONLINE :: KCT: Diare pada Sapi Pedet :: April :: 2006
6 Apr 2006 MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH Diare pada ternak khususnya sapi bukan merupakan sebuah penyakit, tapi lebih merupakan tanda atau gejala klinis dari sebuah penyakit yang



PATOGENESIS MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH YANG DISEBABKAN OLEH Staphylococcus aureus

28 November 2010 oleh ekabees

PATOGENESIS MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH YANG DISEBABKAN OLEH Staphylococcus aureus

Oleh
Sayu Putu Yuni Paryati
B161020061

E-mail : yunisayu@yahoo.com

PENDAHULUAN

Mastitis atau peradangan pada jaringan internal ambing umum terjadi pada peternakan sapi perah di seluruh dunia (Duval 1997). Secara ekonomi, mastitis banyak menimbulkan kerugian karena adanya penurunan produksi susu yang mencapai 70% dari seluruh kerugian akibat mastitis. Kerugian lain timbul akibat adanya residu antibiotika pada susu, biaya pengobatan dan tenaga kerja, pengafkiran, meningkatnya biaya penggantian sapi perah, susu terbuang, dan kematian pada sapi serta adanya penurunan kualitas susu (Kirk et al. 1994; Hurley dan Morin 2000). Tingkat keparahan dan intensitas mastitis sangat dipengaruhi oleh organisme penyebabnya (Duval 1997).
Mastitis dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, di antaranya adalah bakteri. Salah satu bakteri penyebab mastitis subklinis yang sering terisolasi adalah Staphylococcus aureus. Dengan terapi antibiotika, S. aureus dapat dimusnahkan dari permukaan kulit ambing, namun akan tetap tumbuh pada jaringan ikat yang lebih dalam dan ini menyebabkan S. aureus cenderung menjadi resisten terhadap antibiotika (Hoblet dan Eastridge 1992 ; Arpin et al. 1996). Sifat resistensi ini juga ditentukan oleh gen resisten yang terbawa oleh plasmid (Woodford et al. 1998). Kegagalan pengobatan juga disebabkan karena kegagalan antibiotika mencapai jaringan yang terinfeksi atau bakteri penyebabnya (Godkin 1998). Bakteri umumnya bertahan pada jaringan dalam beberapa minggu atau bulan sebagai penyebab mastitis subklinis (Bramley 1991).
Penelitian mengenai patogenesis mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. agalactiae telah dilakukan menggunakan mencit sebagai hewan model (Estuningsih 2001). Demikian juga patogenesis mastitis nekrotik akut (Shibahara dan Nakamura 1998) serta mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. aureus telah diteliti secara in vitro menggunakan biakan jaringan (Purnami 1999), namun belum banyak diketahui mengenai patogenesis penyakit yang disebabkan oleh S. aureus pada kasus mastitis subklinis secara in vivo. Berbagai kendala mungkin dihadapi untuk mempelajari patogenesis mastitis subklinis pada jaringan kelenjar ambing sapi, sehingga perlu dilakukan penelitian pada hewan lain yang mungkin dapat dijadikan model untuk sapi. Dalam penelitian ini akan digunakan mencit sebagai hewan model.

Hipotesis

1. Ada perubahan struktur dan sekresi susu pada jaringan ambing penderita mastitis subklinis akibat infeksi bakteri S. aureus.
2. Terjadi variasi kerusakan jaringan ambing penderita mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. aureus sesuai dengan lamanya waktu infeksi.
3. Mencit dapat digunakan sebagai hewan model untuk menjelaskan patogenesis mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. aureus pada sapi.

TINJAUAN ONTOLOGI MASTITIS PADA SAPI PERAH

Pengertian Mastitis
Mastitis didefinisikan sebagai peradangan pada jaringan internal kelenjar ambing. Penyakit ini umum terjadi pada peternakan sapi perah di seluruh dunia (Duval 1997). Peradangan dapat terjadi pada satu kelenjar atau lebih dan mudah dikenali apabila pada kelenjar susu menampakkan gejala peradangan yang jelas. Kelenjar ambing membengkak, oedematus berisi cairan eksudat disertai tanda-tanda peradangan lainnya, seperti ; suhu meningkat, kemerahan, rasa sakit dan penurunan fungsi. Akan tetapi seringkali sulit untuk mengetahui kapan terjadinya suatu peradangan, sehingga diagnosis terhadap mastitis sering dilakukan melalui pengujian pada produksi susunya, misalnya dengan melakukan penghitungan jumlah sel somatik (JSS) dalam susu (Bramley 1991).
Berdasarkan respon radang yang terjadi, mastitis dapat dibedakan menjadi : mastitis perakut, akut, sub akut, subklinis dan kronis (Hurley dan Morin 2000 ; Nelson dan Nickerson 1991). Mastitis subklinis merupakan mastitis yang paling umum terjadi, yaitu kira-kira 15 – 40 kali lebih banyak dibandingkan dengan mastitis klinis (Hurley dan Morin 2000). Sebagian besar kejadian mastitis di Indonesia merupakan mastitis subklinis (Wibawan et al. 1995). Pada mastitis subklinis terjadi peningkatan jumlah sel radang, adanya mikroorganisme patogen dan terjadi perubahan kimia susu (Sudarwanto 1993). Diagnosis mastitis subklinis dapat dilakukan dengan melakukan penghitungan jumlah sel somatik (JSS) dalam susu (Bramley 1991), tapi jumlah sel somatik pada susu dapat meningkat seiring dengan bertambahnya umur sapi (Duirs and Macmillan 1979).

Penyebab Mastitis Subklinis Staphylococcus aureus
S. aureus tersebar luas di dunia dan banyak menyebabkan kelainan-kelainan pada kulit dan membran mukosa hewan maupun manusia. Bakteri ini bersifat gram positif, fakultatif anaerob, katalase positif, koagulase positif dan menghasilkan asam laktat. Pada biakan agar padat membentuk koloni kuning keemasan (Todar 1998). S. aureus tidak membentuk spora, tidak ada flagela, tumbuh baik pada suhu 37 C dan mati apabila dipanaskan pada suhu 80 C selama setengah jam.
Berbagai komponen S. aureus yang berperan dalam mekanisme infeksi adalah : (1) Polisakarida dan protein yang merupakan substansi penting di dalam dinding sel, seperti protein adhesin hemaglutinin (Wahyuni 1998) dan glikoprotein fibronectin (Nelson et al. 1991). Protein permukaan ini berperan dalam proses kolonisasi bakteri pada jaringan inang; (2). Invasin yang berperan dalam penyebaran bakteri di dalam jaringan, misalnya leukocidin, kinase, hyaluronidase; (3). Kapsul dan protein A yang dapat menghambat fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear ; (4). Substansi biokimia, seperti : carotenoid dan produk katalase, dapat membuat bakteri bertahan hidup dalam fagosit ; (5). Protein A, coagulase dan clumping factor untuk menghindarkan diri dari respon imun inang. S. aureus dengan coagulase negatif terbukti kurang virulen dibandingkan dengan yang mempunyai faktor coagulase (Haraldsson dan Jonsson 1984) ; dan (6). Toksin yang dapat melisis membran sel dan jaringan inang (Todar 1998).
S. aureus mempunyai arti penting sebagai penyebab mastitis subklinis karena bakteri ini dapat menyebar ke mana-mana dan dapat membentuk koloni dengan baik pada kulit dan puting ambing. Keberadaannya pada kulit merupakan suatu keuntungan bagi bakteri ini untuk terhindar dari sel fagosit, sehingga bakteri menjadi persisten (Todar 1997). S. aureus dapat dimusnahkan dari permukaan kulit ambing dengan terapi antibiotika, namun bakteri akan tetap tumbuh pada jaringan ikat yang lebih dalam, menyebabkan S. aureus cenderung menjadi resisten terhadap antibiotika (Hoblet dan Eastridge 1992 ; Arpin et al. 1996). Sifat resistensi ini juga ditentukan oleh gen resisten yang terbawa oleh plasmid (Woodford et al. 1998). Kegagalan pengobatan juga disebabkan karena kegagalan antibiotika mencapai jaringan yang terinfeksi atau bakteri penyebabnya (Godkin 1998). Bakteri umumnya bertahan pada jaringan dalam beberapa minggu atau bulan sebagai penyebab mastitis subklinis (Bramley 1991).
Selain sebagai penyebab mastitis klinis maupun subklinis, S. aureus dikenal pula sebagai bakteri komensal, yang dapat diisolasi dari sebagian besar permukaan tubuh. Bakteri ini bersifat “strain-host specific”, artinya ada kaitan antara biotipe dengan spesies inang (Hajek dan Marsalek 1971). S. aureus merupakan flora normal pada manusia, terutama ditemukan pada saluran pernapasan bagian atas, kulit dan mukosa. Pada babi sehat, S. aureus banyak ditemukan pada cairan bronchoalveolar (Hensel et al. 1994).
Kemampuan S. aureus menginvasi dan hidup dalam sel-sel endotel diyakini dapat menyebabkan infeksi endovascular yang bersifat persisten dengan menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel. Kerusakan sel-sel endotel ini diduga sebagai bagian dari proses apoptosis yang disebabkan oleh infeksi S. aureus (Menzies dan Kourteva 1998).

Histopatologi Mastitis
Secara histopatologi, pada mastitis subklinis dapat ditemukan adanya peradangan dan degenerasi pada parenkim (epitel) saluran-saluran air susu. Selain itu juga ditemukan adanya reruntuhan sel-sel somatik yang meningkat (Ressang 1984; Duval 1997), deskuamasi dan regresi epitel. Sel-sel radang (leukosit-leukosit berinti polimorf) banyak ditemukan di dalam lumen saluran air susu (Ressang 1984).
Penelitian pada mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. agalactiae menunjukkan bahwa patogenesis penyakit dimulai dengan menempelnya bakteri pada permukaan sel epitel, kemudian masuk ke dalam sel epitel alveol kelenjar susu menyebabkan degenerasi dan nekrosa. Nekrosa berlanjut dan menyebabkan atrofi alveol kelenjar susu disertai respon peradangan yang menyebabkan terjadi involusi kelenjar susu. Selanjutnya terjadi proses persembuhan berupa pembentukan jaringan ikat. Pada hari keempat setelah diinfeksi, sebagian jaringan ikat digantikan oleh jaringan lemak dan bakteri terperangkap di dalam kelenjar ambing (Estuningsih 2001).

TINJAUAN EPISTEMOLOGI MASTITIS SUBKLINIS

Tinjauan epistemologi mastitis subklinis pada sapi perah akan menjelaskan mengenai mekanisme kejadian penyakit serta patogenesis bakteri S. aureus sebagai penyebab mastitis subklinis yang umum dijumpai pada sapi perah. Patogenesis penyakit dijelaskan berdasarkan gambaran histopatologi dari kelenjar ambing mencit sebagai hewan model dalam penelitian ini.

Histologi Kelenjar Ambing
Struktur kelenjar ambing tersusun dari jaringan parenkim dan stroma (connective tissue). Parenkim merupakan jaringan sekretori berbentuk kelenjar tubulo-alveolar yang mensekresikan susu ke dalam lumen alveol. Lumen alveol dibatasi oleh selapis sel epitel kuboid. Lapisan sel epitel ini dikelilingi oleh sel-sel myoepitel yang bersifat kontraktil sebagai responnya terhadap hormon oxytocin dan selanjutnya dikelilingi oleh stroma berupa jaringan ikat membrana basalis. Pembuluh darah dan kapiler terdapat pada jaringan ikat di antara alveol-alveol ini. Beberapa alveol bersatu membentuk suatu struktur lobulus dan beberapa lubulus bergabung dalam suatu lobus yang lebih besar. Penyaluran susu dari alveol sampai ke glandula sisterna melalui suatu sistem duktus yang disebut ductus lactiferus (Hurley 2000).
Sel yang melapisi alveol bervariasi penampilannya, tergantung aktivitas fungsionalnya. Pada keadaan kelenjar tidak laktasi, sel berbentuk kuboid. Bila aktif menghasilkan sekret (susu), selnya berbentuk silindris. Dan bila susu dicurahkan ke dalam lumen, meregang, sel-sel kembali berbentuk kuboid dengan ukuran yang jauh lebih besar dan sel-sel penuh berisi sekret (Singh 1991). Sel-sel sekretoris alveol kaya akan ribosom, kompleks golgi dan droplet lemak serta banyak memiliki vakuol sekretoris (Russo dan Russo 1996).
Pada mencit, masa laktasi berlangsung selama 3 – 4 minggu tergantung strain mencit dan sekresi susu maksimal terjadi antara 12-13 hari post partus. Setelah masa sapih, sel-sel epitel mulai berdegenerasi dan alveol mulai menurun aktifitasnya untuk memproduksi susu dan berubah bentuk menjadi kumpulan struktur massa sel tanpa lumen. Pada saat ini lobulus alveolar mulai diisi dengan jaringan lemak (fat pad).

Patogenesis Mastitis
Duval (1997) menjelaskan bahwa proses infeksi pada mastitis terjadi melalui beberapa tahap, yaitu adanya kontak dengan mikroorganisme dimana sejumlah mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter), kemudian dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme akibat lubang puting yang terbuka ataupun karena adanya luka (Gambar 1). Tahap berikutnya, terjadi respon imun pada induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya leukosit-leukosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel ambing. Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme akan mengalami multiplikasi dan sapi dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam.

Penelitian pada mencit yang diinfeksi dengan S. aureus, memperlihatkan bahwa tahap kritis patogenesis mastitis terjadi ketika terjadi interaksi antara neutrofil dan S. aureus pada 12 sampai 18 jam setelah diinokulasi S. aureus melalui kelenjar ambing. Fagositosis bakteri oleh neutrofil mulai terlihat pada 6 jam setelah infeksi. Setelah 12 jam pasca infeksi, neutrofil mengalami perubahan-perubahan yang bersifat degeneratif, mengakibatkan S. aureus dapat mencapai lumen alveol dan terjadi peningkatan jumlah bakteri ekstraseluler pada 18 jam setelah infeksi (Anderson dan Chandler 1975).
Hurley dan Morin (2000), menjelaskan bahwa peradangan pada ambing diawali dengan masuknya bakteri ke dalam ambing yang dilanjutkan dengan multiplikasi. Sebagai respon pertama, pembuluh darah ambing mengalami vasodilatasi dan terjadi peningkatan aliran darah pada ambing. Permeabilitas pembuluh darah meningkat disertai dengan pembentukan produk-produk inflamasi, seperti prostaglandin, leukotrine, protease dan metabolit oksigen toksik yang dapat meningkatkan permeabilitas kapiler ambing. Adanya filtrasi cairan ke jaringan menyebabkan kebengkakan pada ambing. Pada saat ini terjadi diapedesis, sel-sel fagosit (PMN dan makrofag) keluar dari pembuluh darah menuju jaringan yang terinfeksi dilanjutkan dengan fagositosis dan penghancuran bakteri. Tahap berikutnya, terjadi proses persembuhan jaringan.
Paryati (2002) menyatakan bahwa infeksi bakteri S. aureus dengan dosis infeksi pada mencit tidak menyebabkan adanya perubahan jaringan ambing secara klinis. Ambing dari semua kelompok mencit yang diinfeksi dengan S. aureus tidak menampakkan adanya tanda-tanda peradangan dan terlihat sama dengan kelompok kontrol. Puting tampak normal, tidak menampakkan adanya pembengkakan, eksudasi maupun keropeng. Keadaan ini tampak pada seluruh kelompok perlakuan. Puting pada semua mencit berwarna putih, tersembunyi di antara rambut abdomen. Mencit juga tidak memperlihatkan tanda-tanda gelisah, tidak menggaruk-garuk dan tidak menunjukkan tingkah laku yang berbeda dibandingkan dengan mencit kontrol. Aktivitas makan dan minum berjalan normal, menunjukkan bahwa infeksi S. aureus tidak menimbulkan perubahan secara klinis.
Ketika kulit bagian ventral mencit dibuka, tampak ada perubahan pada bagian subkutis. Subkutis tampak lebih basah pada mencit yang diinfeksi S. aureus. Hal ini terlihat pada kelompok mencit 12, 16, 20, 24 dan 36 jam pasca infeksi. Diperkirakan karena terjadinya edema radang ringan. Sedangkan pada kelompok mencit 2 jam sampai dengan 8 jam pasca infeksi tidak tampak adanya perubahan ini. Hiperemi pada pembuluh darah yang menuju ke kelenjar ambing tampak pada kelompok mencit 2 jam sampai dengan 36 jam pasca infeksi. Juga disertai adanya sedikit eksudat disekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelenjar ambing sedang terjadi peradangan. Dan pada kelompok mencit 48 jam pasca infeksi, keadaan subkutis sedikit kering sehingga kulit agak susah dipisahkan dari kelenjar ambing.
Pengamatan histopatologi menggunakan pewarnaan HE pada kelompok 2 jam pasca infeksi (p.i.) memperlihatkan edema jaringan interstitium dan pembendungan pembuluh darah inter-alveoler. Sel-sel epitel alveol mulai mengalami hiperplasia. Struktur kelenjar ambing dan sekresi susu tidak berbeda nyata (P>0,05) bila dibandingkan dengan kelenjar ambing mencit kontrol. Susunan kelenjar masih dalam batas normal.
Empat jam pasca infeksi, masih terlihat adanya edema jaringan interstitium dan pembendungan pembuluh darah. Pada saat ini, dilatasi pembuluh darah disertai dengan diapedesis mulai tampak sebagai respon inang terhadap infeksi. Juga tampak adanya infiltrasi sel-sel radang polimorfonuklear (PMN) pada jaringan interstitium. Arsitektur kelenjar dan sekresi susu masih dalam batas normal (P>0,05). Tampak adanya stagnasi sekresi susu pada lumen ductus lactiverus sebagai akibat dari adanya hambatan pengaliran susu.
Hasil uji statistik memperlihatkan struktur kelenjar ambing kelompok mencit 2 dan 4 jam pasca infeksi (p.i.) memperlihatkan struktur kelenjar yang berbeda nyata (P<0,05) bila dibandingkan dengan kelompok 72, 84 dan 96 jam p.i.; serta kelompok 6 jam p.i. berbeda nyata (P<0,05) dengan kelompok 72 dan 96 jam p.i. Penurunan jumlah alveol yang aktif terjadi pada kelompok mencit 60 sampai 96 jam p.i. (P<0.05) bila dibandingkan dengan kontrol menunjukkan adanya pengaruh infeksi oleh S. aureus akibat terjadinya atrofi kelenjar, menyebabkan penurunan sekresi susu. Isi lumen alveol dan keutuhan epitel menunjukkan kemampuan epitel alveol dalam mensekresikan susu. Namun demikian, keberadaan susu di dalam lumen alveol dapat pula dipandang sebagai keadaan retensi susu jika disertai dengan terjadinya degenerasi epitel alveol dan tubular. Hambatan pengaliran susu dapat terjadi jika terdapat kebengkakan atau hambatan akibat banyaknya reruntuhan sel pada sistem duktus penyalur. Stagnasi sekresi susu tampak pada tubulus ductus lactiverus pada 4 dan 6 jam p.i. (Paryati 2002).
Selanjutnya dijelaskan bahwa penurunan sekresi susu juga tampak nyata (P<0,05) pada kelompok mencit 60, 72 dan 96 jam p.i dibandingkan dengan kelompok 6 dan 20 jam p.i. Penurunan sekresi susu terjadi karena berkurangnya jumlah kelenjar yang aktif dan terjadi atrofi kelenjar alveol.
Hurley dan Morin (2000) lebih lanjut menjelaskan, bahwa terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi kemampuan kelenjar ambing untuk bertahan dari infeksi, di antaranya adalah : jaringan yang menjadi kurang efektif pada umur tua; PMN yang terlalu muda pada kelenjar dan adanya PMN yang tidak memusnahkan bakteri tapi sebaliknya malah melindungi bakteri dari proses penghancuran berikutnya. Hal lain juga disebabkan karena adanya komponen lipid pada susu yang kemungkinan menghambat reseptor Fc pada leukosit, menyebabkan degranulasi yang berlebihan dan meningkatnya gejala peradangan. Lemak dan casein susu yang tertelan oleh PMN dapat menyebabkan kegagalan PMN dalam proses ingesti bakteri. Kemampuan PMN dalam fagositosis dan membunuh bakteri juga dapat menurun pada keadaan defisiensi vitamin E atau selenium.
Pemusnahan bakteri melalui sistem oxygen respiratory burst membutuhkan oksigen yang lebih banyak, namun kadar oksigen pada susu jauh lebih rendah daripada konsentrasi oksigen dalam darah. Demikian juga glukosa sebagai sumber energi pada susu sangat rendah konsentrasinya, padahal untuk fagositosis diperlukan energi yang lebih tinggi. Di samping itu, susu mengandung komponen opsonin (seperti : imunoglobulin dan komplemen) yang relatif sedikit dan dalam susu hampir tidak ada aktivitas lisosim (Hurley dan Morin 2000).

Pengujian hipotesis
Suriasumantri (1999) menjelaskan bahwa metode ilmiah adalah langkah-langkah dalam proses pengetahuan ilmiah dengan menggabungkan cara berpikir rasional dan empiris dengan penghubung berupa hipotesis. Hipotesis merupakan kesimpulan yang ditarik secara rasional dalam sebuah kerangka berpikir yang bersifat koheren dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya dan hipotesis tersebut berfungsi sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang ditelaah dalam kegiatan ilmiah. Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis untuk mengetahui apakah kenyataan empiris sesuai dengan hipotesis yang telah dibuat.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa hipotesis yang telah dibuat dapat diterima, artinya bahwa pernyataan yang terkandung dalam hipotesis tersebut dianggap benar, yaitu :

1. Ada perubahan struktur dan sekresi susu pada jaringan ambing penderita mastitis subklinis akibat infeksi bakteri S. aureus.
2. Terjadi variasi kerusakan jaringan ambing penderita mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. aureus sesuai dengan lamanya waktu infeksi.
3. Mencit dapat digunakan sebagai hewan model untuk menjelaskan patogenesis mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. aureus pada sapi.



TINJAUAN AKSIOLOGI PATOGENESIS MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH

Selama ini, penanggulangan terhadap kasus mastitis hanya ditujukan untuk membasmi agen penyebabnya, misalnya dengan pemberian antibiotika dalam jangka waktu yang lama. Hal ini telah diketahui banyak menimbulkan efek samping, di antaranya akumulasi residu antibitika dalam produk hewan yang dapat merugikan masyarakat konsumen, disamping juga faktor biaya yang relatif mahal. Pengobatan biasanya hanya dilakukan pada hewan-hewan yang secara klinis menunjukkan gejala sakit.
Namun kenyataan yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa hewan yang secara klinis terlihat sehat bukan berarti bahwa dalam tubuhnya tidak terjadi perubahan yang secara ekonomi dapat merugikan. Sebagai contoh dalam penelitian ini, bahwa mastitis subklinis tidak memperlihatkan gejala pada inangnya, namun terjadi penurunan sekresi susu yang diakibatkan oleh adanya infeksi oleh S. aureus. Pada kasus mastitis, jalan infeksi bakteri S. aureus biasanya melewati puting ambing. Diduga infeksi diawali oleh keberhasilan bakteri menembus lapisan tanduk puting lalu dilanjutkan oleh proses adhesi dan kolonisasi (Jonsson dan Wadström 1993).
Dengan mengetahui patogenesis S. aureus sebagai penyebab mastitis subklinis, dapat dijelaskan bagaimana mekanisme bakteri dalam menimbulkan kerusakan pada jaringan inangnya. Dengan demikian dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai upaya pencegahan mastitis tanpa penggunaan antibiotika, misalnya pemanfaatan S. aureus sebagai kandidat vaksin yang dapat mencegah adhesi bakteri pada sel inang atau menggertak kekebalan spesifik dan non spesifik inang dalam upaya penanganan mastitis subklinis. Selanjutnya, penggunaan obat-obatan seperti antibiotika yang diketahui mempunyai berbagai macam efek samping pada ternak maupun pada masyarakat konsumen dapat dikurangi atau bahkan ditiadakan.
Penggunaan mencit sebagai model untuk penelitian penyakit pada sapi , khususnya penyakit yang menyerang ambing dapat dipertimbangkan mengingat bahwa mencit mempunyai struktur kelenjar yang sama dengan sapi. Hal ini berarti dapat menekan biaya penelitian karena harga mencit relatif murah dan mudah didapat.



PENUTUP

Gambaran histopatologi kelenjar ambing mencit yang secara klinis tidak menunjukkan adanya peradangan (mastitis) pada kenyataannya menunjukkan adanya perubahan struktur dari kelenjar berupa degenerasi, nekrosis dan atrofi. Perubahan ini berpengaruh terhadap sekresi susu, baik secara kuantitas maupun kualitas, ditunjukkan oleh adanya lumen kelenjar yang kosong dan berkurangnya kelenjar yang aktif.
Mencit memiliki struktur kelenjar yang sama dengan kelenjar ambing mencit, sehingga dapat disimpulkan bahwa mencit dapat digunakan sebagai hewan model untuk penelitian pada sapi perah. Namun demikian, perlu dilakukan penelitian pada jaringan kelenjar ambing sapi sebagai studi banding. Dan penggunaan metode lain dalam mempelajari infeksi S. aureus perlu dikembangkan, misalnya dengan menggunakan teknik imunositokimia, mikroskop elektron ataupun dengan pewarnaan khusus lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson JC, Chandler RL. 1975. Experimental Staphylococcal Mastitis in The Mouse : Histological, Ultrastructural and Bacteriological Changes Caused by A Virulent Strain of Staphylococcus aureus. J. Comp. Path. 85:499-510.

Arpin C, Lagrange I, Gachie JP, Bebear C, Quentin C. 1996. Epidemiologycal study of an outbreak of infection with Staphylococcus aureus resistant to lincosamides and streptogramin A in a French Hospital. J.Med.Microbiol. 44:303-310.
Bramley AJ. 1991. Mastitis : Physiology or Pathology? Flem.Vet.J. (62) : Suppl. 1, 3-11.

Duirs GF, Macmillan KL. 1979. Interrelationships between somatic cell counts, production, age and mastitis organisms in individual cows. Proceedings of the New Zealand Society of Animal Production. 39:175-179.

Duval J. 1997. Treating mastitis without antibiotics. Ecological Agriculture Projects. http://www.eap.mcgill.ca/Publications/EAP69.htm. [15-12-2000].

Estuningsih S. 2001. Patogenesis mastitis subklinis pada sapi perah : Pendekatan histopatologis mastitis subklinis akibat infeksi Streptococcus agalactiae hemaglutinin positif pada mencit. Disertasi Doktor Pascasarjana. IPB.

Godkin A. 1998. Staphylococcus aureus Mastitis : A contagious bacterial infection of the udder. Health Management, OMAFRA (519):846-965. agodkin@omafra.gov.on.ca. [22-10-1998].

Hajek V, Marsalek E. 1971. The Differentiation of Pathogenic Staphylococci and Sugestion for Their Taxonomic Classification. Zbl. Bacteriol. Parasit. (Abt I Orig.) 217a:176-182

Haraldsson I, Jonsson P. 1984. Histopathology and Pathogenesis of Mouse Mastitis Induced with Staphylooccus aureus Mutans. J. Comp. Path. 94:183196.

Hensel A, Ganter M, Kipper S, Krehon S, Wittenbrink MM, Petzoldt K. 1994. Prevalence of Aerobic Bacteria in Bronchoalveolar Lavage Fluids from Healthy Pigs. Am. J. Vet. Res. 55(12) : 1697-1702.

Hoblet KH, Eastridge ML. 1992. Control of Contagious Mastitis. Dairy Guide Leaflet. Ohio.

Hurley WL, Morin DE. 2000. Mastitis Lesson A.. Lactation Biology. ANSCI 308. http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. [13-12-2001].

Hurley WL. 2000. Mammary tissue organization. Lactation Biology. ANSCI 308. http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. [17-11-2001].

Jonsson P, Wadstr̦m T. 1993. Staphylococcus in : Pathogenesis of bacterial infections in animals. Second edition. Edited by Carlton LG. and Charles O.T. Iowa State University Press. Ames : 21 Р35.

Kirk JH, De Graves F, Tyler J. 1994. Recent progess in : Treatment and control of mastitis in cattle. JAVMA 204:1152-1158.

Menzies BE, Kourteva I. 1998. Internalization of Staphylococcus aureus by Endothelial Cells Induces Apoptosis. Infection and Immunity. 66(12):5994-5998.

Paryati SPY. 2002. Patogenesis Mastitis Subklinis yang Disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada Mencit Berdasarkan Gambaran Histopatologi sebagai Hewan Model untuk Sapi Perah. Tesis. Program Magister. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Purnami NL. 1999. Perbandingan kemampuan adhesi Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus yang memiliki antigen permukaan hemaglutinin pada permukaan biakan sel epitel ambing sapi. Skripsi. FKH-IPB Bogor.

Nelson W, Nickerson S. 1991. Mastitis counter attack. Babson Bros.

Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. NV. Percetakan Bali. pp. 153-163.

Russo IH, Russo J. 1996. Mammary Gland Neoplasia in Long-term Rodent Studies. Eviron Health Perpect. 104:938-967.

Shibahara T, Nakamura K. 1998. Pathology of acute necrotizing mastitis caused by Staphylococcus aureus in a dairy cow. http://ss.jircas.affrc.go.jp/engpage/jarq/33-2/Shibahara/shibahara.htm.

Singh I. 1991. Teks dan atlas histologi manusia. Alih bahasa : Jan Tambayong. Edisi I. Binarupa Aksara. Jakarta. 300-301.

Sudarwanto M. 1993. Mastitis subklinis dan cara diagnosa. Makalah dalam Kursus Kesehatan Ambing dan Program Pengendalian Mastitis. IKA-IPB (tidak dipublikasikan).

Todar K. 1997. Bacteriology 330 Lecture Topics : Colonization and Invasion. http://www.bact.wisc.edu/bact330/lecturecoli

Todar K. 1998. Bacteriology 330 Lecture Topics : Staphylococcus. http://www.bact.wisc.edu/bact330/lecturestaph. [2-4-2001].

Wahyuni AETH. 1998. Peran hemaglutinin Streptococcus agalactiae dalam proses adhesi pada sel epitel sapi perah. Thesis Magister Sains. Program Pascasarjana – IPB.

Wibawan IWT, Pasaribu FH, Huminto H, Estuningsih S. 1995. Ciri biovar Streptococcus agalactiae sebagai petunjuk infeksi silang antara sapi dan manusia. Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi IV Tahap-1.

Woodford N, Watson AP, Patel S, Jevon M, Waghorn DJ, Cookson BD. 1998. Heterogeneous location of the mupA high-level mupirocin sesistance gene in Staphylococcus aureus. J.Med.Microbiol. 47:829-835.
www.jendelahewan.blogspot.com

PENINGKATAN KUALITAS USAHA TERNAK RUMINANSIA MELALUI PEMANFAATAN HASIL SAMPING USAHA DAN AGROINDUSTRI PERTANIAN

pakan ternak dari hasil samping industri
Bahan Alternatif Pakan Dari Hasil Samping Industri Pangan pemanfaatan limbah industri
31 Des 2007 pemanfaatan limbah industri Bahan Alternatif Pakan Dari Hasil Samping Industri Pangan pemanfaatan limbah industri sebagai bahan tambahan pakan ternak, karena kandungan gizinya cukup baik pemanfaatan limbah industri
ikanmania.wordpress. ruminansia pakanlaporan makalah jurnal skripsi artikel penelitian pemanfaatan limbah industri pakanlaporan makalah jurnal skripsi artikel penelitian bahan-alternatif-pakan-dari-hasil-samping-industri-panganpakanlaporan makalah jurnal skripsi artikel penelitian - Tembolok - Mirip
pakan ternak dari hasil samping industri
[PDF]
Limbah Tanaman dan Produk Samping Industri Jagung untuk Pakan
Jenis Berkas: PDFpakanlaporan makalah jurnal skripsi artikel penelitian Adobe Acrobat - Tampilan Cepat
bahan lainnya berupa hasil samping industri pertanian terutama dedak padi pemanfaatan limbah industri pemanfaatan limbah industri sebagai pakan ternak. Penggunaan hasil samping jagung untuk pakan tidak pemanfaatan limbah industri
balitsereal.litbang.deptan.go.idpakanlaporan makalah jurnal skripsi artikel penelitian indpakanlaporan makalah jurnal skripsi artikel penelitian bjagungpakanlaporan makalah jurnal skripsi artikel penelitian duadua.pdf
pakan ternak dari hasil samping industri
TEKNOLOGI PEMANFAATAN HASIL SAMPING INDUSTRI SAWIT - .:Pusat pemanfaatan limbah industri
5 Apr 2010 pemanfaatan limbah industri Dengan menerapkan teknologi ini, hasil samping industri sawit dapat meningkatkan ketersediaan bahan pakan untuk ternak unggas di Indonesia. pemanfaatan limbah industri
contoh.pustaka-deptan.go.idpakanlaporan makalah jurnal skripsi artikel penelitian berita.php?newsID=b100405a - Tembolok
pakan ternak dari hasil samping industri
analisis ketersediaan pakan hijauan dari hasil samping pertanian pemanfaatan limbah industri
Ketersediaan Ca bahan pakan yang rendah tersebut disebabkan tidak semua ternak pemanfaatan limbah industri bahan pakan hasil samping industri pertanian dan hijauan. pemanfaatan limbah industri . hasil pemanfaatan limbah industri
contoh.linkpdf. ruminansia pakanlaporan makalah jurnal skripsi artikel penelitian pemanfaatan limbah industri pakanlaporan makalah jurnal skripsi artikel penelitian analisis-ketersediaan-pakan-hijauan-dari-hasil-samping-pertanian--.pdf - Tembolok
pakan ternak dari hasil samping industri
hasil samping industri kelapa sawit | Search Results | Download pemanfaatan limbah industri
Pemanfaatan Hasil Samping Industri Kelapa Sawit Sebagai Bahan Pakan Ternak Sapi Potong. Prosiding Lokakarya Nasional. Bengkulu, 9-10 September 2003. pemanfaatan limbah industri
ibuprita.suatuhari. ruminansia pakanlaporan makalah jurnal skripsi artikel penelitian pemanfaatan limbah industri pakanlaporan makalah jurnal skripsi artikel penelitian hasil-samping-industri-kelapa-sawit - Tembolok
pakan ternak dari hasil samping industri
Hasil Penelitian Pengolahan Hasil dan Mutu Tahun 2008 | Pusat pemanfaatan limbah industri
elompok Penelitian Pengolahan Hasil dan Mutu bertanggung jawab untuk pemanfaatan limbah industri (c) pakan ternak dari hasil samping industri, dan (d) analisa dan sistem mutu. pemanfaatan limbah industri
contoh.iopri.orgpakanlaporan makalah jurnal skripsi artikel penelitian phm08 - Tembolok
pakan ternak dari hasil samping industri
Pelepah Sawit Untuk Pakan Ternak | PDF Finder | PDF Search Engine
Sawit dan Hasil Samping Industri Kelapa Sawit terhadap Pengembangan Ternak Ruminansia di pemanfaatan limbah industri Pangan dan Perkebunan untuk Pakan Ternak Hasil pemanfaatan limbah industri protein, pemanfaatan limbah industri
contoh.pdf-finder. ruminansia pakanlaporan makalah jurnal skripsi artikel penelitian pdfpakanlaporan makalah jurnal skripsi artikel penelitian pelepah-sawit-untuk-pakan-ternak.html - Tembolok
pakan ternak dari hasil samping industri
Pengolahan Ampas Tebu Sebagai Pakan Ternak pdf documents | ebooks pemanfaatan limbah industri
kelapa sawit dan hasil samping industri kelapa sawit sebagai pakan ternak dan pemanfaatan limbah industri jenis hasil samping utama yang dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak pemanfaatan limbah industri
contoh.ebooklibs. ruminansia pakanlaporan makalah jurnal skripsi artikel penelitian pengolahan_ampas_tebu_sebagai_pakan_ternak_.html - Tembolok
pakan ternak dari hasil samping industri
Industri Limbah Kelapa Sawit Pakan Ternak - JEVUSKA
peranan limbah kelapa sawit dan hasil samping industri kelapa pemanfaatan limbah industri penggemukan dan industri pakan ternak berbasis limbah dan produk samping kelapa sawit pemanfaatan limbah industri
contoh.jevuska. ruminansia pakanlaporan makalah jurnal skripsi artikel penelitian topicpakanlaporan makalah jurnal skripsi artikel penelitian industri+limbah+kelapa+sawit+pakan+ternak.html
Dapatkan hasil lainnya dari 24 jam yang lalu
pakan ternak dari hasil samping industri
Pemanfaatan Limbah Sawit Untuk Bahan Pakan Ternak | PDFChaser pemanfaatan limbah industri
kelapa sawit dalam memperoleh bahan baku limbah dan produk samping kelapa sawit untuk pakan ternak pemanfaatan limbah industri Pemanfaatan Hasil Samping Industri Kelapa Sawit


CONTOH MAKALAH LAPORAN SKRIPSO PENELITIAN DISERTASI THESIS PETERNAKAN

PENINGKATAN KUALITAS USAHA TERNAK RUMINANSIA MELALUI PEMANFAATAN HASIL SAMPING USAHA DAN AGROINDUSTRI PERTANIAN

PENDAHULUAN

Usaha ternak ruminansia sebagai salah satu sumber protein hewani asal susu dan daging memerlukan asupan bahan pakan yang tersedia dan memiliki kualitas bagus bagi perkembangan ternak. Pakan sampai saat ini menyumbang 70% dari total pembiayaan usaha ternak. Konsep usaha ternak ruminansia yang dilakukan masyarakat Indonesia kebanyakan masih berupa usaha konvensional dengan pola pemeliharaan yang sebagian besar tradisional. Usaha peternakan yang telah intensifpun kebanyakan masih mengandalkan sumber pakan yang biasa digunakan sejak dulu. Inovasi untuk mendapatkan sumber pakan baru bagi ternak ruminansia mutlak diperlukan.
Peningkatan produksi ternak ruminansia memerlukan penyediaan jumlah pakan dalam jumlah besar, terutama pakan berserat kasar kasar (roughage) yang murah. Perluasan areal untuk penanaman pakan ternak akan semakin terbatas, terutama pada daerah padat penduduk. Disamping itu penanaman pakan ternak menghadapi beberapa kendala yaitu :
• Memerlukan investasi lahan yang mahal
• Pemeliharaan tanaman yang tidak murah
• Pengangkutan hijauan ke farm yang kontinyu (tiap hari)
• Hasil panen yang fluktuatif (tergantung musim)
• Penyimpanan yang juga mahal (kebanyakan dalam bentuk silase)
Hasil intensifikasi tanaman pangan tidak menghasilkan pangan yang lebih banyak, tetapi juga menghasilkan limbah berserat yang melimpah sehingga integrasi antara tanaman pangan dengan ternak merupakan suatu alternatif untuk mencukupi kebutuhan pakan yang murah.
Beberapa upaya harus dilaksanakan secara terpadu untuk meningkatkan pemanfaatn hasil samping usaha dan agroindustri pertanian (termasuk perkebunan dan kehutanan) sehingga dihasilkan bahan pakan ternak ruminansia yang berkualitas dan bernilai ekonomis. Berbagai perlakuan akan disampaikan berikut ini sebagai tambahan referensi untuk meningkatkan pemanfaatan hasil samping usaha dan agroindustri pertanian.

HASIL SAMPING USAHA DAN AGROINDUSTRI PERTANIAN SEBAGAI PAKAN ALTERNATIF

Hasil samping usaha dan agroindustri pertanian (termasuk didalamnya perkebunan dan kehutanan) sebagai pakan alternatif bagi ternak ruminansia dilakukan dengan beberapa tahapan sebagai berikut :
1. Observasi
2. Identifikasi
3. Penentuan perlakuan
4. Formulasi dan peningkatan nilai

Observasi
Merupakan langkah untuk memperoleh dokumentasi dan jenis hasil samping usaha dan agroindustri pertanian untuk dijadikan sebagai bahan pakan. Hasil koleksi ini terkait dengan beberapa faktor, yaitu :
a. Lokasi ketersediaan bahan baku yang dekat dengan lokasi pengumpulan
b. Kontinyuitas bahan yang selalu ada atau bila bahan tersebut bersifat musiman maka jumlah dalam setiap musim sangat berlimpah
c. Biaya penanganan dan pengangkutan murah
Identifikasi
Bahan baku pakan yang telah diperoleh segera diidentifikasi keunggulannya. Sebagai sumber protein, karbohidrat atau serat kasar.
Penentuan Perlakuan
Bahan baku pakan yang telah diidentifikasi dan ditentukan keunggulannya dilakukan penentuan perlakuan prosesing lanjutan sebelum layak dijadikan sebagai bahan baku pakan, misalnya : dikeringkan – disangrai – difermentasi – disilase atau dilayukan
Formulasi dan Peningkatan Nilai
Uji laboratorium untuk mengukur kandungan bahan pakan sebelum dan setelah perlakuan dilaksanakan sebagai tolok ukur jumlah bahan baku pakan dalam formula ransum pakan ternak ruminansia untuk ditingkatkan nilainya sebagai pakan terpisah atau sebagai pakan lengkap (complete feed)

DEDAK PADI

Dedak padi (hu’ut dalam bahasa sunda) merupakan hasil sisa dari penumbukan atau penggilingan gabah padi. Dedak tersusun dari tiga bagian yang masing-masing berbeda kandungan zatnya. Ketiga bagian tersebut adalah:
Kulit gabah yang banyak mengandung serat kasar dan mineral
• Selaput perak yang kaya akan protein dan vitamin B1, juga lemak dan mineral.
• Lembaga beras yang sebagian besar terdiri dari karbohidrat yang mudah dicerna.
Berhubung dedak merupakan campuran dari ketiga bagian tersebut diatas maka nilai/martabatnya selalu berubah-ubah tergantung dari proporsi bagian-bagian tersebut.
Menurut kelas nilainya, dedak dibagi menjadi empat kelas, yaitu:
• Dedak Kasar
Adalah kulit gabah halus yang bercampur dengan sedikit pecahan lembaga beras dan daya cernanya relatif rendah.
Analisa kandungan nutrisi: 10.6% air, 4.1% protein, 32.4% bahan ekstrak tanpa N, 35.3% serat kasar, 1.6% lemak dan 16% abu serta nilai Martabat Pati 19
Sebenarnya dedak kasar ini sudah tidak termasuk sebagai bahan makanan penguat (konsentrat) sebab kandungan serat kasarnya relatif terlalu tinggi (35.3%)
• Dedak halus biasa
Merupakan hasil sisa dari penumbukan padi secara tradisional (disebut juga dedak kampung). Dedak halus biasa ini banyak mengandung komponen kulit gabah, juga selaput perak dan pecahan lembaga beras. Kadar serat kasarnya masih cukup tinggi akan tetapi sudah termasuk dalam golongan konsentrat karena kadar serat kasar dibawah 18%. Martabat Pati nya termasuk rendah dan hanya sebagian kecil saja yang dapat dicerna.
Analisa nutrisi: 16.2% air, 9.5% protein, 43.8% bahan ekstrak tanpa N, 16.4% serat kasar, 3.3% lemak dan 10.8% abu serta nilai Martabat Pati (MP) nya 53
• Dedak lunteh
Merupakan hasil ikutan dari pengasahan/pemutihan beras (slep atau polishing beras). Dari semua macam dedak, dedak inilah yang banyak mengandung protein dan vitamin B1 karena sebagian besar terdiri dari selaput perak dan bahan lembaga, dan hanya sedikit mengandung kulit. Di beberapa tempat dedak ini disebut juga dedak murni.
Analisa nutrisi: 15.9% air, 15.3% protein, 42.8% bahan ekstrak tanpa N, 8.1% serat kasar, 8.5% lemak, 9.4% abu serta nilai MP adalah 67.
• Bekatul
Merupakan hasil sisa ikutan dari pabrik pengolahan khususnya bagian asah/slep/polish. Lebih sedikit mengandung selaput perak dan kulit serta lebih sedikit mengandung vitamin B1, tetapi banyak bercampur dengan pecahan-pecahan kecil lembaga beras (menir). Oleh sebab itu masih dapat dimanfaatkan sebagai makanan manusia sehingga agak sukar didapat.
Analisa nutrisi: 15% air, 14.5% protein, 48.7% lemak dan 7.0% abu serta nilai MP adalah 70.
Dalam perdagangan harus cukup teliti dan waspada karena dedak sering dipalsukan dengan mencampur kulit gabah (dedak kasar) yang telah digiling halus ke dalam dedak halus, lunteh atau bekatul.

DEDAK JAGUNG
Dedak jagung merupakan hasil sisa ikutan dari penggilingan jagung yang banyak terdapat di daerah-daerah yang makanan pokok dari penduduknya adalah jagung, seperti Madura dan daerah industri dan pertanian Jagung lainnya. Dedak jagung sangat baik diberikan pada ternak hanya cara penyimpanannya yang agak sukar karena bersifat higroskopis sehingga mudah menjadi lembab sehingga cepat rusak.
Analisa nutrisi: 9.9% air, 9.8% protein, 61.8% bahan ekstrak tanpa N, 9.8 serat kasar, 6.4% lemak dan 2.3% abu serta nilai Martabat Pati (MP) adalah 68.

BUNGKIL KELAPA
Karena minyak kelapa menduduki tempat pertama dalam memenuhi kebutuhan manusia akan minyak goreng, bungkil kelapa sangat mudah didapatkan. Harganya pun jauh lebih murah bila dibandingkan dengan bungkil kacang tanah. Kadar proteinnya paling rendah diantara bungkil-bungkil yang lain, namun nilai martabat makanannya cukup tinggi karena zat-zat yang dikandung bungkil kelapa mudah dicerna.
Yang disebut bungkil kelapa ini biasanya adalah hasil sisa dari pembuatan dan ekstraksi minyak kelapa yang didapat dari daging kelapa yang telah dikeringkan terlebih dahulu.
Sangat baik diberikan pada sapi perah sebab dapat meningkatkan kadar lemak susu sehingga meningkatkan kualitas susu. Pemberiannya tergantung pada berat badannya yaitu antara 1.5 – 2.5 kg/ekor/hari. Sedangkan untuk babi antara 0.75 – 1.5kg/ekor/hari. Baik pula diberikan pada ayam dengan pemberian sampai +/- 25%.
Untuk kuda juga dapat diberikan hanya dalam jumlah sedikit dan dicampur dengan gabah atau dedak, sebab apabila terlalu banyak dapat menyebabkan diare.
Analisa nutrisi: 11.6% air, 18.7% protein, 45.5% bahan ekstrak tanpa N, 8.8% serat kasar, 9.6% lemak dan 5.8% abu serta nilai Martabat Pati (MP) 81.

BUNGKIL KACANG TANAH
Bungkil ini sekarang mudah didapat karena sudah banyak pabrik-pabrik minyak kacang, baik pabrik modern maupun yang masih sederhana. Kadar proteinnya paling tinggi diantara bungkil bungkil yang lain yang umum digunakan.
Baik untuk digunakan sebagai komposisi dalam ransum konsentrat untuk sapi, babi dan ayam. Hanya perlu dibatasi jumlah pemberiannya karena kadar lemaknya yang cukup tinggi dan harganya relatif mahal.
Analisa nutrisi: 6.6% air, 42.7% protein, 27% bahan ekstrak tanpa N, 8.9% serat kasar, 8.5% lemak dan 6.3% abu serta nilai MP adalah 80.

ONGGOK
Merupakan hasil sisa dalam pembuatan tepung kanji. Dapat diberikan pada ternak sapi dan babi sebagai komposisi ransumnya. Ampas ketela pohon ini berguna sebagai sumber karbohidrat untuk stimulasi dalam pembuatan silase.
Analisa nutrisi: 18.3% air, 0.8% protein, 78% bahan ekstrak tanpa N, 2.2% serat kasar, 0.2% lemak dan 2.5% abu serta nilai MP adalah 76.

KULIT ARI KEDELAI (KLECI)
Merupakan hasil sortir penggilingan kacang kedelai yang digunakan untuk proses pembuatan tahu dan tempe. Karena merupakan kulit, maka bahan baku pakan ini perlu diberi perlakuan berupa perebusan (minimal perendaman) untuk meningkatkan kecernaan bahan. Ciri umum limbah seperti itu, mengandung serat kasar (selulosa, lignoselulosa dan hemiselulosa) yang tinggi. Molekul kompleks ini sebenarnya tersusun dari ikatan rantai panjang glukosa (ikatan 1,6 – beta glukosidik).
Secara alamiah, di dalam rumen serat akan dibongkar (degradasi) oleh mikrobia selulolitik menjadi molekul yang lebih sederhana, termasuk glukosa. Molekul sederhana ini akan disintesa oleh mikrobia untuk membuat asam-asam lemak dan protein, yang nantinya diserap usus halus.
Semakin mudah pakan didegradasi oleh mikrobia maka semakin cepat laju sintesa itu, nutrien yang diserap usus halus akan makin banyak pula. Sehingga pertumbuhan sapi pun semakin baik.
Tanpa perlakuan khusus, nilai kecernaan pakan rendah alias sulit didegradasi karena kuatnya ikatan 1,6 – beta glukosidik. Laju sintesa asam lemak dan protein pun lambat karena harus melalui tahap pemecahan serat di dalam rumen.
Cara lain yang umum dipakai untuk memecah – atau setidaknya merenggangkan – ikatan 1,6- beta glukosidik adalah dengan fermentasi dan pemanasan. Fermentasi memerlukan waktu lebih lama dan tempat khusus, sementara dengan pemanasan, peternak perlu mengeluarkan biaya bahan bakar.
Menurut penelitian, pemanasan mampu meningkatkan nilai kecernaan kleci hingga mencapai 90%, meningkat 25 – 30 % dibanding jika diberikan apa adanya. Selain itu laju pencernaan pakan menjadi 4 jam, 2 jam lebih cepat dari umumnya. Hal ini disebabkan karena pakan lebih mudah dicerna. Dengan demikian sapi bisa makan dengan porsi lebih banyak dalam sehari.

Fermentasi Jerami Padi
Proses fermentasi Jerami Padi memerlukan lokasi yang ternaungi beralas tanah. Fermentasi jerami padi dimaksudkan untuk memanfaatkan hasil samping usaha pertanian padi dan meningkatkan kualitas jerami padi agar dapat dijadikan sebagai sumber pakan berserat ternak rumiansia.
Proses Fermentasi Jerami Padi :
1. Jerami ditumpuk dan dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan ketinggian 50cm pada lokasi ternaungi beralas tanah
2. Diatas tumpukan tersebut diperciki tetes tebu sebanyak 2 liter/ton (bila tidak ada tetes tebu dapat digunakan urea sebanyak 0,3% dari berat jerami) dan atau Probiotik
3. Diatas tumpukan pertama diberi lagi jerami dan dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan ketinggian 50cm serta diperciki tetes tebu sebanyak 2 liter/ton (bila tidak ada tetes tebu dapat digunakan urea sebanyak 0,3% dari berat jerami) dan atau Probiotik
4. Perlakuan yang sama dilakukan sampai terbentuk beberapa tumpukan (tinggi minimal tumpukan adalah 1,5 meter)
5. Setelah terbentuk tumpukan yang dimaksud, dilakukan penyiraman untuk memberi kadar air tumpukan min 60% (kondisi yang baik untuk pertumbuhan mikroba fermentor). Lakukan penutupan bagian atas tumpukan dengan karung plastik atau kardus atau daun lebar
6. Biarkan terjadi proses fermentasi selama 14 hari
7. Setelah 14 hari, tumpukan dibongkar dan dikeringkan atau diangin-anginkan sampai kering sebagai stok pakan atau dapat juga langsung diberikan sebagai pakan berserat untuk ternak ruminansia

Hasil laboratorium pengujian Jerami Segar dan jerami Fermentasi
Hasil Analisa Jerami Segar Jerami Fermentasi
Air 59.16 10,17
Abu 24,5 19,87
Protein Kasar 4,3 9,03
Lemak 2,5 1,52
Serat Kasar 33,8 31,8

Diuji oleh : Fakultas Teknologi Pertanian UGM – Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian
Sumber : LHM – Research Station, Makalah Pelatihan Integrated Farming System

Pelepah dan Daun Kelapa Sawit
Pelepah dan Daun Kelapa Sawit dapat dijadikan sebagai pakan berserat ternak ruminansia dengan cara dichopper (dicacah) terlebih dahulu dan dilayukan selama satu malam

Lumpur Sawit
Lumpur hasil agroindustri pengolahan kelapa sawit dapat dijadikan sebagai pengganti bekatul sampai 80% dengan cara melakukan pengeringan lumpur sawit dan digiling menjadi tepung

Serat Sawit
Serat buah kelapa sawit dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku pakan berserat dengan cara difermentasi. Proses fermentasi serat sawit sama dengan proses fermentasi jerami padi sebagai berikut :

Proses Fermentasi Serat Sawit :
1. Serat Sawit ditumpuk dan dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan ketinggian 50cm pada sebuah wadah dari kayu dengan dinding papan yang tidak rapat (untuk sirkulasi udara) pada lokasi ternaungi
2. Diatas tumpukan tersebut diperciki tetes tebu sebanyak 2 liter/ton (bila tidak ada tetes tebu dapat digunakan urea sebanyak 0,3% dari berat serat sawit), lumpur hasil samping agroindustri kelapa sawit sebanyak 5% dari total serat sawit dan atau Probiotik
3. Diatas tumpukan pertama diberi lagi serat sawit dan dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan ketinggian 50cm serta diperciki tetes tebu sebanyak 2 liter/ton (bila tidak ada tetes tebu dapat digunakan urea sebanyak 0,3% dari berat serat sawit), lumpur hasil samping agroindustri kelapa sawit sebanyak 5% dari total serat sawit dan atau Probiotik
4. Perlakuan yang sama dilakukan sampai terbentuk beberapa tumpukan (tinggi minimal tumpukan adalah 1,5 meter)
5. Setelah terbentuk tumpukan yang dimaksud, dilakukan penyiraman untuk memberi kadar air tumpukan min 60% (kondisi yang baik untuk pertumbuhan mikroba fermentor) Lakukan penutupan bagian atas tumpukan dengan karung plastik atau kardus atau daun lebar
6. Biarkan terjadi proses fermentasi selama 14 – 21 hari
7. Setelah 14 – 21 hari, tumpukan dibongkar dan dikeringkan atau diangin-anginkan sampai kering sebagai stok pakan atau dapat juga langsung diberikan sebagai pakan berserat untuk ternak ruminansia

FERMENTASI KULIT BUAH COKELAT
Tanaman Cacao (cokelat) akan menghasilkan :
1. Biji Cokelat
2. Kulit Biji Cokelat
3. Kulit Buah Cokelat (cacao pod)
Teknik fermentasi kulit buah cacao adalah :
1. Kulit buah kakao (cacao pod) segar (kadar air ± 85 %) diturunkan kadar airnya sampai ± 70% dengan cara dikeringkan sinar matahari selama 6 jam penyinaran.
2. Kulit buah kakao difermentasi dengan menggunakan 3 kg Probiotik dan 6 kg Urea/ton kulit buah kakao pada lokasi ternaungi
3. Lakukan penutupan bagian atas tumpukan dengan karung plastik atau kardus atau daun lebar. Biarkan terjadi fermentasi selama 14 hari
4. Setelah 14 hari lakukan pembongkaran tumpukan, dikeringkan dan digiling dengan lobang saringan 50 mm.
Tujuan Fermentasi adalah untuk menaikan daya cerna melalui menyederhakan ikatan struktur kompleks pada kulit buah cokelat, palatabilitas (nilai kesukaan ternak) dan penyerapan nutrisi kulit buah cokelat. Fermentasi juga dilakukan untuk meredam efek buruk racun theobromine dan asam fitat yang dapat menyebabkan diare dan penurunan daya serap usus pada ternak ruminansia.

Catatan :
Pada Unggas, pemberian kulit buah cokelat segar akan member efek zat anti nutrisi, yaitu theobromine (3,7 dimethylxan-tine) sebagaimana dilakukan oleh Wong et. al., 1986, menunjukkan bahwa konsumsi theobromine pada unggas ternyata mengganggu pertumbuhan, menurunkan produksi telur, terjadi lesi pada usus halus dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Diduga, menurunnya kecernaan bahan kering, protein kasar maupun energi termetabolis yang sejalan dengan kenaikan pemakaian kulit buah cokelat dalam ransum karena adanya racun theobromine tersebut.

FERMENTASI AMPAS TEBU
Proses fermentasi ampas tebu (bagassilo) memiliki prinsip yang sama dengan fermentasi jerami padi. Ampas tebu memiliki kandungan lignin yang tinggi (+ 19,7%), kandungan protein rendah (+ 2%) dan Total Digestible Nutrientnya (TDN) rendah (+ 28%) sehingga perlu dilakukan perlakuan khusus dengan tujuan :
1. Struktur lignin dapat disederhanakan sehingga bermanfaat dan dapat meningkatkan nilai tukar kation pada pakan
2. Nilai Total Digestible Nutrient (kecernaan) dan kandungan protein dapat meningkat sehingga memenuhi syarat sebagai pakan ternak ruminansia.
Keunggulan ampas tebu dibanding jerami padi adalah rendahnya kandungan silica.
Proses Fermentasi Ampas Tebu :
1. Ampas Tebu ditumpuk dan dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan ketinggian 50cm pada sebuah wadah dari kayu dengan dinding papan yang tidak rapat (untuk sirkulasi udara) pada lokasi ternaungi
2. Diatas tumpukan tersebut diperciki tetes tebu sebanyak 4 liter/ton (bila tidak ada tetes tebu dapat digunakan urea sebanyak 0,6% dari ampas tebu), pupuk TSP sebanyak 0,2%, pupuk ZA sebanyak 0,2% dan atau Probiotik
3. Diatas tumpukan pertama diberi lagi ampas tebu dan dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan ketinggian 50cm serta diperciki tetes tebu sebanyak 4 liter/ton (bila tidak ada tetes tebu dapat digunakan urea sebanyak 0,6% dari berat ampas tebu), pupuk TSP sebanyak 0,2%, pupuk ZA sebanyak 0,2% dan atau Probiotik
4. Perlakuan yang sama dilakukan sampai terbentuk beberapa tumpukan (tinggi minimal tumpukan adalah 1,5 meter)
5. Setelah terbentuk tumpukan yang dimaksud, dilakukan penyiraman untuk memberi kadar air tumpukan min 60% (kondisi yang baik untuk pertumbuhan mikroba fermentor) Lakukan penutupan bagian atas tumpukan dengan karung plastik atau kardus atau daun lebar
6. Biarkan terjadi proses fermentasi selama 14 – 21 hari
7. Setelah 14 – 21 hari, tumpukan dibongkar dan dikeringkan atau diangin-anginkan sampai kering sebagai stok pakan atau dapat juga langsung diberikan sebagai pakan berserat untuk ternak ruminansia

FERMENTASI PUCUK TEBU
Pucuk tebu memiliki proporsi sebesar 23% dari seluruh batang tebu. Proses fermentasi pucuk tebu (cane top) memiliki prinsip yang sama dengan fermentasi jerami padi dan ampas tebu.
Proses Fermentasi Pucuk Tebu :
1. Pucuk Tebu dipotog-potong dengan panjang 5 – 7,5 cm lalu ditumpuk dan dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan ketinggian 50cm pada lokasi ternaungi
2. Diatas tumpukan tersebut diperciki tetes tebu sebanyak 2 liter/ton (bila tidak ada tetes tebu dapat digunakan urea sebanyak 0,3% dari berat pucuk tebu) dan atau Probiotik
3. Diatas tumpukan pertama diberi lagi pucuk tebu dan dipadatkan dengan cara dinjak-injak dengan ketinggian 50cm serta diperciki tetes tebu sebanyak 4 liter/ton (bila tidak ada tetes tebu dapat digunakan urea sebanyak 0,6% dari berat pucuk tebu) dan atau Probiotik
4. Perlakuan yang sama dilakukan sampai terbentuk beberapa tumpukan (tinggi minimal tumpukan adalah 1,5 meter)
5. Setelah terbentuk tumpukan yang dimaksud, dilakukan penyiraman untuk memberi kadar air tumpukan min 60% (kondisi yang baik untuk pertumbuhan mikroba fermentor) Lakukan penutupan bagian atas tumpukan dengan karung plastik atau kardus atau daun lebar
6. Biarkan terjadi proses fermentasi selama 14 hari
7. Setelah 14 hari, tumpukan dibongkar dan dikeringkan atau diangin-anginkan sampai kering sebagai stok pakan atau dapat juga langsung diberikan sebagai pakan berserat untuk ternak ruminansia

FERMENTASI TONGKOL JAGUNG
Pemanfaatan tongkol jagung sampai saat ini hanya digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak dan belum imanfaatkan secara maksimal. Tongkol jagung selain klobot (seludang luar buah jagung) dapat digunakan sebagai pakan ternak ruminansia setelah diberi perlakuan fermentasi. Fermentasi tongkol jagung dilakukan karena memiliki kandungan lignin, sellulosa, hemisellulosa dan silika yang masih cukup tinggi.
Kandungan lignin dan silika yang tingi dapat menghambat kemampuan mikroflora dalam rumen untuk mencerna. Peningkatan kecernaan tongkol jagung dapat dilakukan dengan melaukan fermentasi dengan cara :
1. Tongkol jagung digiling sampai sebesar pipilan buah jagung
2. Dilakukan fermentasi dengan menggunakan probiotik sebanyak 15 gram/10 kg tongkol jagung
3. Kelembaban awal sebesar 60%
4. Lama proses fermentasi selama 4 – 5 hari
Tongkol jagung fermentasi dapat digunakan sebagai pengganti dedak sampai 67%

KULIT SINGKONG
Kulit umbi ubi kayu/singkong dapat digunakan sebagai sumber serat kasar dan energi bagi ternak ruminansia. Caranya adalah dengan melakukan pengeringan untuk mengurangi pengaruh sianida (zat anti nutrisi pada ubi kayu), setelah kering kemudian kulit ubi kayu tersebut digiling dan dicampur dengan bahan pakan lain sebagai pakan penguat (konsentrat)

AMPAS TAHU
Merupakan hasil samping proses pembuatan tahu yang memiliki kandungan Protein Kasar mencapai 21,16% dengan kondisi bahan baku sudah dimasak sehingga memiliki kecernaan yang cukup tinggi. Hanya saja Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen yang tinggi membuatnya sulit untuk difermentasi sehingga memerlukan bantuan bahan baku lain yang memiliki kandungan air rendah sehingga mampu mencapai kadar air optimum (sebesar 60 – 70%) untuk mempercepat proses fermentasi asam lemak dan meningkatkan daya tahan sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Bahan baku yang dapat digunakan untuk fermentasi adalah dedak atau onggok.
Fermentasi Ampas Tahu
1. Ampas tahu dimasukkan dalam karung plastik, lalu diinjak-injak atau dipadatkan untuk menghilangkan kadar air
Campurkan dedak atau onggok dengan perbandingan Ampas Tahu : Dedak/Onggok = 75 : 25 secara merata
2. Siapkan drum plastik dan kantong plastik yang masih baik (tidak bocor) lalu lapisi bagian dalam drum dengan kantong plastik
3. Masukkan campuran kedalam drum plastik sambil dipadatkan
4. Sisa kantong plastik diikat dengan kuat dan dipastikan bahwa tidak ada udara yang masuk kedalam drum plastik
5. Tutup rapat drum plastik, bila perlu beri pemberat diatasnya (ban dengan batu diatasnya) agar air dan udara tertekan
6. Simpan sampai 21 hari, daya penyimpanan dapat mencapai 6 bulan apabila jaminan kedap udara didalam drum plastik terpenuhi
7. Aplikasi pemberian pada ternak, sebaiknya ditambah dengan mineral, karena ampas tahu mengandung Kalsium dan Phosphor yang rendah

AMPAS BIR
Merupakan hasil samping proses pembuatan bir yang berasal dari gandum. Sama seperti ampas tahun ampas bir memiliki kandungan Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen yang tinggi membuatnya sulit untuk difermentasi sehingga memerlukan bantuan bahan baku lain yang memiliki kandungan air rendah sehingga mampu mencapai kadar air optimum (sebesar 60 – 70%) untuk mempercepat proses fermentasi asam lemak dan meningkatkan daya tahan sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Bahan baku yang dapat digunakan untuk fermentasi adalah dedak atau onggok.
Fermentasi Ampas Bir
1. Ampas bir dimasukkan dalam karung plastik, lalu diinjak-injak atau dipadatkan untuk menghilangkan kadar air
2. Campurkan dedak atau onggok dengan perbandingan Ampas Bir : Dedak/Onggok = 75 : 25 secara merata
3. Siapkan drum plastik dan kantong plastik yang masih baik (tidak bocor) lalu lapisi bagian dalam drum dengan kantong plastik
4. Masukkan campuran kedalam drum plastik sambil dipadatkan
5. Sisa kantong plastik diikat dengan kuat dan dipastikan bahwa tidak ada udara yang masuk kedalam drum plastik
6. Tutup rapat drum plastik, bila perlu beri pemberat diatasnya (ban dengan batu diatasnya) agar air dan udara tertekan
7. Simpan sampai 21 hari, daya penyimpanan dapat mencapai 6 bulan apabila jaminan kedap udara didalam drum plastik terpenuhi

Silase
Dr. Wayne K. Coblentz, seorang assistant professor dari University of Arkansas melalui jurnal ilmiahnya menyatakan bahwa silase adalah suatu produk yang dihasilkan dari pemanenan tanaman makanan ternak/hijauan pada kadar air (moisture content) yang tinggi (lebih besar dari 50%) kemudian hasil panen tersebut difermentasikan dalam lubang, menara (tower), parit (trench), atau plastik silo. Idealnya, proses ini harus terjadi tanpa kehadiran oksigen (total absence of oxygen). Proses fermentasi dalam pembuatan silase dibantu oleh mikroorganisme dalam kondisi anaerob/hampa udara (air tight) yang mengubah karbohidrat atau gula tanaman (plant sugars) menjadi asam laktat oleh Lactobacillus Sp. Silase dapat menekan proses aktivitas bakteri pembusuk yang akan menurunkan mutu hijauan sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama. Pengetahuan tentang fermentasi hijauan dengan mengunakan silase diperkirakan telah berusia lebih dari 3000 tahun. Beberapa silo (tempat pembuatan silase) telah ditemukan pada reruntuhan Chartage yang mengindikasikan bahwa silase telah dibuat di sana sekira 1200 tahun sebelum masehi. Tercatat pula bahwa bangsa Jerman pada abad pertama telah menyimpan hijauan makanan ternak dalam lubang di tanah. Pada pertengahan abad ke-19, silase rumput dan gula bit telah menyebar ke Eropa (Siefers, 2000).
Hijauan yang melebihi kebutuhan dan melimpah di musim hujan jika dibiarkan di udara terbuka akan terjadi penurunan nilai gizi yang disebabkan mikroorganisme aerob. Oleh karena itu, hijauan perlu diawetkan dengan pembuatan silase. Hijauan seperti batang dan daun jagung (Zea mays) sudah dipakai meluas sebagai bahan pembuatan silase. Hijauan terbaik yang telah diperoleh tersebut harus dipotong atau dicacah terlebih dahulu sebelum pembuatan silase dengan maksud untuk meningkatkan volume dan mempercepat proses fermentasi. Setelah itu, hijauan harus segera dimasukan kedalam silo dengan kepadatan tinggi kemudian ditutup dengan cepat untuk mencegah masuknya oksigen. Di dalam silo inilah hijauan akan difermentasi atau diawetkan sampai tiba saat diberikan pada ternak.
Pembuatan silase memang sederhana, namun jika dilihat dari aspek teknologi maka di dalam pembuatan silase ini terdapat proses fermentasi dan proses-proses lain yang sangat kompleks dimana melibatkan faktor mikrobiologi, kimia, dan fisik. Proses pembuatan silase dinamakan ensilase. Prinsip dasarnya adalah fermentasi dalam kondisi asam dan anaerob. Dua kondisi tersebut merupakan kunci keberhasilan dalam pembuatan silase. Beberapa aspek yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan silase antara lain kandungan oksigen dalam silo, kandungan gula dan air pada bahan, dan temperatur. Penghilangan oksigen ini sangat penting karena menurut Dr. Wayne K. Coblentz, sel tumbuhan tidak langsung mati pada saat pemanenan, namun sel tersebut terus bernapas. Apabila oksigen masih terdapat pada silo, maka gula (plant sugars) akan teroksidasi (oxidized) dan hal ini sangat merugikan karena gula sangat esensial dalam fermentasi sehingga oksidasi ini harus dicegah dengan cara pengeluaran oksigen. Oksidasi gula tanaman pun akan menurunkan nilai energi dari hijauan dan secara tidak langsung akan meningkatkan komponen serat yang memliki kecernaan rendah bagi ternak. Oleh karena itu, kandungan oksigen dalam silo harus dibatasi sehingga tercipta kondisi anaerob. Gula pada hijauan berguna sebagai substrat primer (primary substrate) bagi bakteri penghasil asam laktat yang akan menurunkan pH atau derajat keasaman (acidity) pada silase sehingga silase akan stabil dan awet pada waktu yang lama. Apabila kandungan gula pada bahan ini rendah, maka fermentasi tidak akan berjalan sempurna. Hal tersebut dikarenakan ketidakhadiran bakteri penghasil asam laktat. Fermentasi akan berlangsung secara maksimal pada saat gula tersebut difermentasi oleh bakteri penghasil asam laktat. Pembuatan silase dalam skala besar dengan jumlah yang sangat banyak, harus dilakukan pemilihan hijauan/bahan yang memiliki kandungan gula tinggi. Jika kandungan gula pada hijauan kurang, maka perlu dilakukan penambahan zat aditif untuk sumber substrat (substrate sources) bagi bakteri penghasil asam laktat. Aditif yang digunakan tentu harus merupakan bahan yang mengandung gula yang salah satunya adalah molases (produk sampingan dari ekstraksi gula yang berasal dari tumbuhan). Bahan aditif lainnya bagi silase biasanya berupa bakteri inokulan (bacterial inoculants) dan enzim. David K. Combs, dari University Wisconsin-Madison menggolongkan bakteri inokulan silase menjadi dua, yaitu bakteri homofermentatif dan bakteri heterofermentatif. Bakteri homofermentatif merupakan bakteri yang umum dalam menghasilkan asam laktat, contohnya adalah Lactobacillus plantarum, L. Acidophilus, Pediococcus cerevisiae, P. Acidilactici dan Enterococcus faecium. Organisme ini telah menunjukan kemampuannya dalam menurunkan pH selama proses fermentasi, mengurangi tingkat kehilangan bahan kering (dry matter) silase, sehingga performans ternak dapat meningkat. Namun, silase yang difermentasi dengan bakteri homofermentatif ini kurang stabil ketika diekspos ke udara karena asam laktat yang dproduksi oleh bakteri homofermentatif ini dapat dimetabolis dengan cepat oleh beberapa spesies ragi (yeast) dan jamur (mold).
Bakteri heterofermentatif dapat menghasilkan asam laktat dan asetat dalam proses fermentasi, contohnya adalah Lactobacillus buchneri. Bakteri heterofermentatif ini dapat mengurangi pertumbuhan ragi dan silase akan terlindung oleh suhu yang tinggi saat diekspos ke udara. Keuntungan ekonomis dari penggunaan Lactobacillus buchneri sebagai inokulan bergantung pada jumlah hijauan yang dapat disimpan dengan mengurangi penyusutan (losses) yang diasosiasikan dengan ketidaksatabilan aerob. Kandungan air pada bahan merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada proses fermentasi. Kandungan air yang optimal pada bahan dalam keadaan segar berkisar antara 60-70% atau 65%. Dalam persentase air sebanyak itu akan sangat mendukung dalam proses fermentasi dan penghilangan oksigen pada silo saat pengemasan. Persentase kandungan air yang terlalu tinggi pada bahan akan menyebabkan tingginya konsentrasi asam butirat (butiryc acid) dan amonia, silase seperti ini akan memiliki keasaman yang kurang (pH tinggi). Hal tersebut akan menyebabkan bau yang menyengat pada silase sehingga tidak akan dikonsumsi oleh ternak. Kelebihan kandungan air pada bahan pun akan menyebabkan fermentasi clostridial yang tidak diinginkan.
Pengontrolan temperatur silase sangat penting dilakukan agar berlangsung proses fermentasi karena pengontrolan temperatur sangat mendukung dalam pembentukan asam laktat. Reaksi antar gula (sugars) dengan oksigen akan menghasilkan karbondioksida, air, dan panas (heat). Untuk mengurangi suhu yang tinggi, maka harus dilakukan pengeluaran oksigen dari silo. Temperatur silase harus dipertahankan dimana fermentasi dapat berjalan secara optimal dan pembentukan bakteri asam laktat dapat berlangsung. Apabila beberapa aspek tadi telah diperhatikan dengan baik, maka kemungkinan akan diperoleh silase dengan kualitas baik pula. Dinas Peternakan Jawa Barat memiliki standar kualitas silase yang baik dan layak untuk menjadi pakan ternak. Ada empat indikator yang digunakan dalam menilai kualitas tersebut, yaitu wangi, rasa, warna, dan sentuhan. Silase yang baik memiliki wangi seperti buah-buahan dan sedikit asam, sangat wangi dan terdorong untuk mencicipinya dengan rasa yang manis dan terasa asam seperti youghurt. Warna kualitas silase yang baik adalah berwarna hijau kekuning-kuningan dan kering. Meskipun demikian, silase tidak akan pernah lebih baik dari hijauan aslinya karena adanya sejumlah tertentu zat makanan akan hilang selama proses fermentasi yang berjalan tidak sempurna. Silase pun bersifat slighty laxative atau bersifat pencahar yang dapat disebabkan bahan aditif seperti molases dengan kandungan kalium tinggi sehingga pemberian silase sebaiknya dicampur dengan hijauan kering (dry roughage) non-legum yang bersifat constipaty.

Pengeringan Tanaman Pakan Ternak

Hay adalah pengawetan hijauan pakan ternak (misalnya : rumput gajah, rumput raja, batang dan daun jagung) yang sengaja dipotong dan dikeringkan dengan bantuan sinar matahari atau dengan alat pengering sehingga hijauan memiliki kadar air 10 – 15%. Pembuatan hay tanaman pakan ternak dapat dilakukan dengan cara memotong atau mencincang tanaman (cincangan halus terutama dilakukan pada bagian batang) dan selanjutnya dijemur pada hamparan lokasi yang memiliki intensitas penyinaran yang baik atau pada alat pengering.
Untuk proses pembuatan hay melalui penjemuran dilakukan pembalikan agar pengeringan bahan dapat berlangsung secara merata. Pada waktu sore hari atau menjelang turun hujan, bahan dikumpulkan dan ditumpuk serta ditutup dengan terpal plastik. Hal ini dilakukan untuk melindungi bahan dari embun yang turun dimalam hari dan atau air hujan. Pada keesokan harinya tumpukan kembali dijemur disertai pembalikan untuk meratakan proses pengeringan. Pencapaian kadar air sebesar 10 – 15% biasanya memerlukan waktu 3 – 5 hari atau setelah tidak terjadi penurunan berat bahan saat penimbangan. Selanjutnya dilakukan pengemasan dengan cara memasukkan bahan kedalam wadah untuk memudahkan penyimpanan. Lokasi penyimpanan sebaiknya merupakan lokasi yang bersih dan kering serta terhindar dari air hujan. Susunan wadah penyimpanan yang rapi dan diberi jarak antar tumpukan sehingga akan memudahkan pengambilan dan jumlah hay yang disimpan akan lebih banyak.
Pemberian hay dapat dilakukan langsung pada ternak tanpa perlakuan apapun. Hay dapat diberikan sebagai pakan tunggal untuk ternak. Kebanyakan ternak ruminansia memiliki tingkat kesukaan yang tinggi, karena hay yang diproses dengan baik memiliki bau seperti daun dan batang jagung segar dan rasanya manis. Bila ternak belum mau, maka pemberian dapat dilakukan sedikit demi sedikit sampai ternak memiliki tingkat kesukaan yang baik. Satu kilogram hay setara dengan tujuh kilogram tanaman pakan ternak segar.

DAFTAR ISTILAH LAIN
Angka Manfaat: angka persentasi yang menunjukkan perbandingan antara energi netto dengan energi zat-zat makanan yang dapat dicerna dari bahan makanan yang bersangkutan.
Abu: Zat-zat mineral yang ditentukan dengan membakar makanan (zat organik).
Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN): Bagian dari bahan makanan yang mengandung karbohidrat, gula dan pati.
Bahan Kering (BK): Berat konstan bahan makakan setelah dihilangkan kandungan airnya dengan pemanasan 105 derajat celcius.
Daya Cerna: Persentase makanan yang dimakan dibanding denagn yang dikeluarkan sebagai faeces/tinja.
Energi Bruto: Semua panas yang bebas pada pembakaran, panas ini dihasilkan dari suatu makanan yang seluruhnya dibakar sehingga menghasilkan zat-zat terakhir seperti CO2, H2O, dan gas lain.
Energi Dapat Dicerna (Digestible Energy): Nilai energi bruto bahan makanan dikurangi zat-zat yang tidak dapat dicerna (energi dalam faeces).
Energi Netto: Energi tersedia dikurang energi thermis.
Energi Thermis: Energi yang dipergunakan untuk pengunyahan dan proses pencernaan.
Imbangan Protein (IP): Imbangan antara protein yang dapat dicerna dengan zat-zat makanan lainnya yang dapat dicerna dalam ransum.
Kalori (cal): Jumlah panas yang diperlukan untuk menaikkan suhu 1 gram/ 1 kg air dari 14.5 derajat celcius menjadi 15.5 derajat celcius.
Makanan Penguat (konsentrat): Bahan makanan yang tinggi kadar zat-zat makanan seperti protein atau karbohidrat dan rendahnya kadar serat kasar (dibawah 18%)
Martabat Pati (MP): Angka yang menunjukkan jumlah pati (dalam satuan kg) yang sama besar dayanya dengan 100kg bahan makanan/ransum dalam membentuk lemak yang sama banyaknya dalam tubuh.
Metabolisme Energi (ME): Nilai energi yang terhimpun pada zat-zat yang dapat dicerna dikurangi nilai energi yang keluar sebagai air kencing (urine) dan gas-gas usus.
Protein: Bagian bahan makanan yang mengandung persenyawaan nitrogen yang disusun oleh asam-asam amino esensial dan non-esensial.
Protein Dapat Dicerna (Pdd): Bagian protein dalam bahan makanan ternak yang dapat dicerna atau diserap dalam tubuh.
Ransum: Campuran dari berbagai macam bahan makanan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup ternak baik dalam jumlah maupun kualitasnya.
Serat Kasar: Bagian dari bahan makanan yang sulit dicerna.
Total Digestible Nutrient (TDN): Semua zat makanan (yang terkandung dalam bahan makanan yang dapat dicerna, seperti protein, karbohidrat, serat kasar dan lemak.
Zat Makanan: Zat yang dibutuhkan oleh tubuh untuk kelangsungan hidup tumbuh dan berproduksi, merupakan salah satu dari berbagai hasil akhir pencernaan.

REFERENSI

Balai Informasi Pertanian – Ungaran. Bahan Makanan Penguat (Konsentrat). Departemen Pertanian Republik Indonesia. 1984 – 1985

LHM – Research Station – Makalah Pelatihan Integrated Farming System. Lembah Hijau Multifarm – Solo – Jawa Tengah – Indonesia

Majalah TROBOS. Edisi Juli 2008

Rukmantoro S., Budi I., Amirudin, Hera H., Nakatani M., 2002. Produksi dan Pemanfaatan Hijauan. Buku Petunjuk Teknologi Sapi Perah di Indonesia. Untuk Peternak. JICA – Dairy Improvement Project. Direktorat Jenderal ina Produksi Peternakan – Departemen pertanian RI, Dinas Peternakan Jawa Barat dan Japan International Cooperation Agency

Saishi Sailage. 1998. 10,1 Dairyman Japan

Siregar, S.B. 1996. Pengawetan Pakan Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta
www.jendelahewan.blogspot.com

Jumat, 26 November 2010

Dari Bakul Ikan Jadi Pemilik Maskapai Penerbangan

Pendakian terjal ditempuh oleh Susi Pudjiastuti. Perempuan kelahiran Pangandaran tahun 1965 ini pada awal tahun 1980-an gagal menamatkan SMA-nya di Cilacap, Jawa Tengah. Ia pulang ke Pangandaran dan mencoba berjualan aneka barang seperti baju, bedcover, dan sebagainya.

Namun akhirnya ia menemukan potensi Pangandaran, yaitu ikan. Dengan modal Rp 750 ribu hasil penjualan perhiasan miliknya, ia mulai berjualan ikan dengan cara membeli ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan menjualnya ke restoran-restoran. Hari pertamanya ia hanya berhasil menjual 1 kg ikan. Itupun ke restoran kenalannya.

Keuletan, tak membuatnya mundur. Ia terus mencoba lagi hari-hari berikutnya. Meski tak mudah, akhirnya ia bia menguasai pasar Pangandaran setahun kemudian. Lalu ia mencoba menjual ikan-ikan dari Pangandaran ke Jakarta dengan menyewa truk. Berangkat jam tiga sore sampai di Jakarta tengah malam menjadi kegiatan sehari-harinya.

Dari semula menyewa truk akhirnya Susi bisa membeli truk. Usahanya terus berkembang. Sampai-sampai ia bisa mengekspor udang ke Jepang. Meskipun sempat jatuh bangun, alat transportasi ikannya berubah drastis dari truk hingga menggunakan pesawat terbang.

Ceritanya, setelah menikah dengan pilot asal Jerman, Susi berangan-angan mengangkut ikannya menggunakan pesawat. Angan-angan itu timbul karena dengan menggunakan truk yang memakan waktu sembilan jam perjalanan, dan ikan-ikannya mati sesampai di Jakarta. Itulah yang membuat harga ikannya jatuh. Dengan pesawat cuma diperlukan satu jam sehingga harga ikannya pasti tinggi karena lebih segar.

Tahun 2000, Susi mencoba mengajukan pinjaman ke bank untuk merealisasikan rencana itu. Namun rencananya itu ditertawakan pihak bank dan sudah tentu pengajuan kreditnya ditolak. Baru pada tahun 2004, ada bank yang mau mengabulkan kreditnya. Dari Bank Mandiri, ia mendapat pinjaman Rp 47 miliar yang ia gunakan untuk membuat landasan di Pangandaran dan membeli dua pesawat Cessna.

Namun sebulan setelah pengoperasian pesawatnya, terjadi bencana tsunami di Aceh. Naluri kemanusiaannya terusik. Ia terbang ke Aceh untuk memberi bantuan. Pesawat Susilah, pesawat pertama yang mendarat di Aceh setelah bencana itu. Besoknya ia membawa barang-barang bantuan seperti beras, mi instan, dan sebagainya. Susi dan pesawatnya pun berkutat di Aceh mendistribusikan barang-barang bantuan.

Rencananya, ia "hanya" memberi bantuan sarana angkutan gratis selama 2 minggu,namun banyak LSM dalam dan luar negeri yang memintanya tetap di sana dan mereka bersedia menyewa pesawat Susi. Dari sanalah lahir nama Susi Air sebagai usaha penyewaan pesawat.

Kini Susi Air sudah memiliki 50-an pesawat dan nama Susi Air pun dikenal sebagai maskapai penerbangan carteran yang populer di Indonesia saat ini. Sungguh suatu pendakian nasib yang menakjubkan dari seorang ibu yang tak tamat SMA. Keuletan dan keberaniannya mengantarkannya ke puncak sukses bisnis. Luar Biasa!!

Sumber : http://www.andriewongso.com/artikel/Success_Story/3707/Dari_Bakul_Ikan_Jadi_Pemilik_Maskapai_Penerbangan/


www.jendelahewan.blogspot.com

Jumat, 19 November 2010

4 Rahasia Menjadi Orang Kaya

Keterampilan mengelola uang akan menentukan apakah seseorang sukses secara finansial dan menjadi kaya karenanya atau tidak. Meski begitu, keterampilan ini sangat bisa dipelajari dan membutuhkan konsistensi.

Valentino Dinsi, SE, MM, MBA, pendiri MuslimCOACH menyebutkan, hanya satu persen orang di dunia yang mengontrol 50 persen uang yang beredar, dan lima persen orang di dunia yang menguasai 90 persen uang beredar. Ini sama artinya dengan semakin banyak orang yang memperebutkan sedikit uang.

“Jika pun uang beredar di dunia ini dibagi rata setiap orang, 25 milyar per orang misalnya. Dalam lima tahun komposisinya akan kembali seperti awal tadi. Karena begitu menerima uang banyak, kecenderungannya orang akan konsumtif,” jelas Valentino, dalam dalam seminar bertema “Entrepreneur in You” yang diadakan oleh Department Group of Magazine, Kompas Gramedia beberapa waktu lalu.

Lantas bagaimana sebagian kecil orang di dunia mengelola uangnya dan sukses finansial serta menjadi kaya karenanya?
1. Jangan bergantung pada satu sumber penghasilan
Menjadi kaya sama dengan bekerja lebih giat dan menarik uang lebih banyak. Bergantung pada satu sumber penghasilan takkan cukup menambah pendapatan. Jadi, caranya menjadi kaya adalah dengan mencari sumber pendapatan kedua atau ketiga. Anda bisa mencari tambahan penghasilan dengan keterampilan atau hobi yang dimiliki dan bisa dikerjakan dari rumah. Seperti menjadi penulis buku freelance dan mengerjakannya sepulang kantor. Atau keahlian lain yang berbeda dari pekerjaan Anda saat ini.

2. Akumulasi aset
Semakin banyak aset Anda, semakin besar nilai kekayaan Anda. Mulailah berinvestasi. Membeli tanah, bisnis franchise yang memudahkan dan laris di pasaran, atau bentuk investasi lain. Tentu saja Anda perlu menambah pengetahuan seputar investasi termasuk risikonya. Dengan mempelajari jenis dan risiko investasi, Anda bisa mendapatkan penghasilan tambahan sekaligus mengakumulasi aset Anda.

3. Terapkan teori “compounding”
Seperti dikutip www.dowtheoryletters.com dalam buku Irwin Shaw bertajuk Rich Man, Poor Man disebutkan, compounding menjadi aturan pertama untuk menghasilkan uang dan menjadi jalan menuju kaya. Jalan ini mengandung makna, Anda harus gigih dalam berupaya menghasilkan uang. Anda juga memerlukan kecerdasan untuk tetap menjalani pekerjaan (yang menghasilkan uang tersebut). Artinya Anda perlu memahami betul apa yang Anda lakukan dan mengapa Anda melakukan pekerjaan tersebut. Selain itu compounding juga bermakna Anda perlu memiliki pengetahuan matematika untuk dapat memperhitungkan penghasilan yang Anda miliki dan mengelolanya dengan tepat. Selain itu, sukses finansial membutuhkan waktu, dan bukan sukses instan yang hanya bertahan sementara.

4. Menjalani empat profesi ini
Valentino menyebutkan empat profesi orang terkaya di dunia adalah:
* Entrepreneur
* Pialang saham
* CEO/ Direktur Utama sebuah perusahaan.
* Staf penjualan door to door yang dibayar berdasarkan komisi hasil penjualan.
Jika disimak, daftar 10 orang terkaya di Indonesia menurut majalah Forbes (versi September 2008) adalah pengusaha. Sebut saja lima besarnya seperti Aburizal Bakrie dan keluarga (5,4 miliar dollar AS), Sukanto Tanoto dan keluarga mengelola Garuda Mas (4,7 miliar dollar AS), R Budi Hartono (3,14 miliar dollar AS), Budi Hartono dan Michael Hartono, dua saudara kandung yang memiliki saham di perusahaan rokok Djarum dan BCA (3,08 miliar dollar AS), Eka Tjipta Widjaja dan keluarga pemilik Sinar Mas Group (2,8 miliar dollar AS), dan sederet penguasaha kaya lainnya. (Kompas.com)


www.jendelahewan.blogspot.com

Minggu, 07 November 2010

Usaha Dengan Modal Dengkul

Untuk memulai usaha, tidak melulu selalu berawal dari modal uang. Karena segala sesuatunya sebenarnya berasal dari ide-ide dan impian yang tiap orang miliki.

Tapi sebrilian apa pun ide itu tidak akan ada artinya jika kreativitas yang ada tidak dikembangkan. Untuk itu, diperlukan pentingnya keberanian mengambil risiko dalam berbisnis.

“Jika ada modal usaha yang lebih penting dari uang, berapa pun besarnya, modal itu adalah ide-ide cemerlang dan impian yang menggairahkan pemiliknya. Kebanyakan wirausaha terkemuka memulai usahanya dengan modal dengkul,” jelas Andrias Harefa dalam bukunya, Berwirausaha dari Nol, terbitan Daras Book.

Sebagian besar orang sukses di dunia mengawali kesuksesannya dengan ide-ide yang tidak lumrah, kreatif dalam mengimplementeasikan idenya, serta berani untuk merealisasikanya kreasinya tersebut.

Tapi, apakah tiga hal itu cukup. Ternyata belum, wirausahawan harus jeli melihat masalah sebagai peluang. Masalah-maslah yang muncul dalam kehidupan justru memunculkan peluang.

Pasalnya, masalah yang dihadapi banyak orang memerlukan solusi, alternatif pemecahan, jalan keluar. Dan itu dapat memberikan nilai ekonomis bagi mereka yang mampu menawarkannya sesuai kebutuhan yang ada.

Akan tetapi, tidak semua peluang baru yang muncul itu memberikan peluang usaha yang bertahan lama. Di mana saluran pemasaran tidak terjamin ke depannya karena masalah yang dihadapi orang banyak itu berangsur memulih.

Ada satu hal yang membuat wirausahawan nyaman dalam menjalankan usahanya, yakni memilih usaha sesuai dengan hobi dan minat. Dengan berusaha berdasarkan hobi ini, orang umumnya berpendapat kekayaan dan popularitas hanyalah konsekuensi, bukan tujuan utama.

Sikap menjajal hal-hal baru juga perlu dilakukan. Dengan ini, maka kemungkinan untuk melebarkan sayar usaha terbuka lebar. Karena potensi dari hal yang belum tergarap dapat terpetakan.

Selanjutnya, jangan pernah menyerah jika apa yang dihasilkan tak sesuai harapan. Kegagalan merupakan keberhasilan yang tertunda, tetap komit atas apa yang dilakukan dengan inovasi yang dilakukan bakal membalik kegagalan menjadi kesuksesan.

Sumber : http://www.cuwelamomang.com/usaha-dengan-modal-dengkul/


www.jendelahewan.blogspot.com

Kamis, 04 November 2010

Teknik Budidaya Ikan Arwana

Budidaya Ikan arwana bukanlah sesuatu yang mudah anda harus mempelajari beberapa teknik atau cara untuk membudidayakan Ikan arwana ini, cara budidaya ikan arwana yang paling dasar adalah sebagai berikut :

Pemeliharaan Induk
Induk dipelihara dalam kolam berukuran 5 x 5 m dengan kedalaman air 0,5-0,75 m. Kolam ditutup plastik setinggi 0,75 m untuk mencegah lompatan ikan.

Ruangan pemijahan dibangun di pojok perkolaman dan ditambah dengan beberapa kayu gelondongan untuk memberikan kesan alami. Batu dan kerikil dihindari karena dapat melukai ikan atau dapat tercampur pakan secara tidak sengaja.

Kolam pembesaran dibangun di area tenang dan ditutup sebagian, dan dijauhkan dari sinar matahari langsung. Induk dipelihara dalam kolam pembesaran hingga mencapai matang gonad.

Pengelolaan Kualitas Air
Kualitas air dijaga agar mendekati lingkungan alami arwana yaitu pH 6,8-7,5 dan suhu 27-29 C. Penggantian air dilakukan sebanyak 30-34% dari total volume dengan air deklorinisasi.

Pemberian Pakan
Keseimbangan gizi sangat penting bagi kematangan gonad dan pemijahan. Induk diberikan pakan bervariasi yang mengandung kadar protein tinggi. Pakan diberikan setiap hari dalam bentuk ikan/udang hidup atau runcah, dan ditambah pelet dengan kadar protein 32 %. Jumlah pemberian pakan per hari adalah 2 % dari bobot total tubuh.

Kematangan gonad
Matang gonad terjadi pada umur 4 tahun dengan panjang tubuh 45-60cm. Pemijahan terjadi sepanjang tahun, dan mencapai puncaknya antara bulan Juli dan Desember. Induk jantan di alam akan menjaga telur yang sudah dibuahi dalam mulutnya hingga 2 bulan ketika larva mulai dapat berenang.

Arwana betina mempunyai ovarium tunggal yang mengandung 20-30 ova besar dengan diameter rata-rata 1,9 cm dengan kematangan berbeda-beda. Induk jantan dewasa juga mempunyai sebuah organ vital menyerupai testis.

Pembedaan Kelamin
Juvenil sulit dibedakan jenis kelaminnya. Perbedaan akan muncul setelah ikan berukur 3-4 tahun.

Pembedaan jenis kelamin diketahui melalui bentuk tubuh dan lebar mulut. Arwana jantan mempunyai tubuh lebih langsing dan sempit, mulut lebih besar dan warna lebih mencolok daripada betina. Mulut yang melebar dengan rongga besar digunakan untuk tujuan inkubasi telur. Perbedaan lain adalah ukuran kepala jantan relatif lebih besar, sifat lebih agresif termasuk dalam perebutan makanan.

Kebiasaan Pemijahan
Tingkah laku arwana sangat unik selama masa pengenalan lain jenis. Masa ini berlangsung selama beberapa minggu atau bulan sebelum mereka mulai menjadi pasangan. Hal ini dapat diamati pada waktu malam, ketika ikan berenang mendekati permukaan air. Arwana jantan mengejar betina sekeliling kolam, terkadang pasangan membentuk lingkaran (hidung menghadap ke ekor pasangan).

Sekitar 1-2 minggu sebelum pemijahan, ikan berenang bersisian dengan tubuh seling menempel. Terjadilah pelepasan sejumlah telur berwarna jingga kemerahan, Jantan membuahi telur dan kemudian mengumpulkan telurdi mulitnya untuk diinkubasi sampai larva dapat berenang dan bertahan sendiri. Diameter telur 8-10 mm dan kaya akan kuning telur dan menetas sekitar seminggu setelah pembuahan. Setelah penetasan, larva muda hidup dalam mulut jantan hingga 7-8 minggu sampai kuning telur diserap total. Larva lepas dari mulut dan menjadi mandiri setelah ukuran tubuh 45-50 mm.

Panen Larva
Inkubasi telur secara normal adalah membutuhkan 8 minggu. Untuk memperpendek waktu, telur yang sudah dibuahi dapat dikeluarkan dari mulut pejantan 1 bulan setelah pemijahan. Induk jantan ditangkap dengan sangat hati-hati dengan jaring halus lalu diselimuti dengan handuk katun yang basah untuk menghindari ikan memberontak dan terluka.

Untuk melepaskan larva dari mulut induk jantan, tarik perlahan bagian bawah mulut dan tubuh ditekan ringan. Larva dikumpulkan dalam wadah plastik dan diinkubasikan dalam akuarium. Jumlah larva yang dapat mencapai 25-30 ekor.

Teknik Pembenihan
Setelah dikeluarkan dari mulut pejantan, larva diinkubasikan dalam akuarium berukuran 45×45x90 cm. Temperatur air 27-29 C menggunakan pemanas thermostat. Oksigen terlarut 5 ppm (mg/ I) menggunakan aerator bukaan kecil.

Untuk mencegah infeksi akibat penanganan larva, dalam air dilarutkan Acriflavine 2 ppm. Menggunakan teknik pembenihan in vitro ini, Survival Rate (SR) yang didapat sampai tahap ikan dapat berenang adalah 90-100 %.

Selama periode inkubasi, larva tidak perlu diberikan pakan. Beberapa minggu pertama selama kuning telur belum habis, biasanya larva hampir selalu berada pada dasar akuarium. Larva mulai berenang ke atas bertahap ketika ukuran kuning telur mengecil. Pada minggu ke delapan, kuning telur hampir terserap habis sehingga larva mulai berenang ke arah horizontal. Pada tahap ini, pakan hidup pertama harus mulai diberikan untuk mencegah larva saling Ketika ukuran larva mencapai 8,5 cm atau berumur 7 minggu, kuning telur terserap secara penuh dan larva dapat berenang bebas.

Pemeliharaan Larva
Tambahan pakan hidup yang dapat diberikan seperti cacing darah atau anak ikan yang ukurannya sesuai bukaan mulut arwana.

Larva yang telah mencapai panjang 10-12 cm dapat diberikan pakan seperti udang air tawar kecil atau runcah untuk mengimbangi kecepatan tumbuhnya.

Sumber: Buku Budidaya Ikan Arwana


www.jendelahewan.blogspot.com