Istilah ayam serama bagi orang awam mungkin kurang dikenal. Ayam ini memang bukan asli Indonesia, namun berasal dari Negeri Jiran Malaysia. Tapi siapa sangka, ayam yang kini giat dikembangkan oleh para pehobinya di Indonesia ini sekarang bisa bersaing ketat dengan ayam di negeri asalnya.
Awalnya, ayam ini adalah hasil rekayasa persilangan antarras ayam dunia. Hal ini dilakukan salah satu penyilang ayam hias di Malaysia, Wee Yean Een pada dekade 1970-an hingga 1990-an. Nama serama berasal dari nama tokoh wayang Sri Rama, yang menggambarkan keanggunan, kesatria dan
gagah berani.
Pada akhir 1990-an Indonesia mulai mengimpor ayam serama dan menjadi populer pada dekade berikutnya. Ketekunan para pengembangbiaknya menjadikannya bisa bersaing kuat dalam sektor pemasaran dan kualitas produksi. Pehobi ayam serama yang juga seorang juri lomba, Yudi KT, mengatakan ayam serama hasil persilangan Indonesia tidak kalah dengan Malaysia. Bahkan lebih bagus dalam hal warna bulu, sikap dan mental, serta gaya. “Kita hanya sedikit tertinggal soal anatomi. Saya yakin ini bisa diatasi dengan terus saling menyilangkan ayam serama kualitas terbaik untuk mendapatkan hasil yang sempurna,” kata dia. Setahun ke depan, diperkirakan Indonesia akan memimpin dalam hal serama, baik produksi kuantitas maupun kualitas,” tegasnya.
Salah satu pengembang ayam serama di kawasan Soloraya adalah Paguyuban Ayam Serama Sukowati (Pagass). Paguyuban ini masih muda usia karena baru terbentuk akhir Maret lalu. Namun keberadaan mereka mulai diperhitungkan para pemain lama ayam serama di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jakarta dan Madura. Buktinya, Pagass sudah mampu menggelar Kontes Nasional Ayam Serama: Bupati Sragen Cup 2011 akhir Mei lalu.
Acara tingkat nasional itu terbilang sukses, karena melihat peserta yang berjumlah 200-an lebih dan berasal dari Jawa dan Madura. “Banyak yang tidak menyangka. Kok Sragen ujug-ujug gelar tingkat nasional. Tingkat daerah saja belum,” ujar pengurus Pagass, Dwi Patrianto. Filosofi ayam serama yang meski kecil tapi berani dan kemaki, rupanya ditiru oleh Pagass.
Menurut Antok 999, seorang pembiak ayam serama, ini adalah awal yang baik untuk Pagass dan juga Sragen secara umum membangun citra kota. Bukan tidak mungkin, kelak Sragen bakal dikenal dengan Kota Ayam Serama.
Masih terbuka
Yulianto, pehobi ayam serama mengatakan hobi ini masih terbuka untuk dijadikan ladang mengeruk uang. Terlebih di Soloraya baru ada satu paguyuban penggila ayam serama, yaitu Pagass di Sragen. Maka ia menilai Sragen dapat menjadi pemimpin produksi dan pemasaran. Jika kesempatan ini dapat dimanfaatkan, maka akan berdampak besar pada aktivitas perekonomian dan berujung pada kehidupan yang lebih sejahtera.
Yuli menceritakan, perputaran uang sangat cepat dan untung yang menggiurkan. Ia memiliki tiga ekor ayam serama. Satu ekor bernama Cenat Cenut baru berusia dua bulan sudah memenangi salah satu gelar terbaik di kelasnya di kejuaraan di Kediri dua bulan lalu. Harga belinya saat itu Rp 3 juta dan seusai menyelesaikan lomba ditawar pembeli Rp 7,5 juta. “Baru dipelihara tiga pekan sudah untung Rp 4,5 juta. Tapi saya melihat Cenat Cenut bisa lebih baik lagi, maka tidak saya lepas.” Harga anakan ayam serama memang mahal, mencapai jutaan rupiah. Harganya akan semakin naik hingga ratusan juta jika unggul di banyak lomba.
Untuk itu, Paguyuban Ayam Serama Sukowati (Pagass) akan selalu mendorong para anggotanya yang telah menjadi peternak untuk terus kreatif dalam melakukan persilangan. Antok 999 yang juga peternak ayam serama mengatakan dirinya memiliki 15 ekor induk dan enam pejantan. Dari jumlah itu, ia mampu mendapat puluhan ekor ayam serama dalam sebulan. Ia mendapat induk dari saudaranya yang tinggal di Banyuwangi. Kualitas dari sana sangat terjaga dan bermutu tinggi. “Itu baru saya, belum anggota lain yang ikut ternak. Di kota-kota lain juga banyak yang beternak, maka ini potensi yang luar biasa,” imbuh dia.
Sumber : http://www.solopos.com/2011/lifestyle/belanja/serama-ayam-malaysia-yang-mempesona-102332
www.jendelahewan.blogspot.com