Sabtu, 08 Oktober 2011

Sinkronisasi Birahi pada Kerbau


Kerbau merupakan salah satu ternak besar yang paling dikenal masyarakat selain sapi. Hal ini disebabkan karena kerbau memiliki banyak kelebihan. Disamping dapat dimanfaatkan tenaganya, kerbau juga merupakan simbol status pemiliknya serta yang paling penting adalah penghasil daging dalam sistem peternakan rakyat. Hal ini tidak saja di Indonesia tetapi juga di manca negara. Namun ironisnya, berdasarkan fakta di lapangan populasi kerbau dari tahun ke tahun semakin menurun dan tingkat produktivitasnya masih sangat rendah.
Untuk mengatasi hal demikian, salah satu upaya yang harus terus menerus dilakukan, agar produktivitas ternak kerbau lebih baik adalah dengan program peningkatan mutu genetis dari populasi yang ada. Program ini meliputi identifikasi ternak yang memiliki kemampuan produksi tinggi seperti angka pertumbuhan berat badan yang ideal, jarak antara beranak lebih pendek dan penerapan teknologi inseminasi buatan (IB). Di Indonesia, IB pada kerbau telah digunakan sejak awal tahun 1982 melalui proyek percontohan di Kabupaten Serang (Jawa Barat) dan Kabupaten Brebes (Jawa Tengah).
Dalam perkembangannya penerapan teknologi IB pada kerbau ternyata sangat lamban, tidak sepesat pada sapi. Kendala utama yang dirasakan menghambat pelaksanaan IB pada kerbau yaitu sulitnya deteksi birahi karena gejala birahi umumnya tidak jelas (birahi tenang/ silent heat/ quiet ovulation/ suboestrus). Akibatnya, peternak tidak mengetahui kalau kerbaunya sedang birahi, sehingga IB tidak dilakukan tepat waktu.
Kejadian birahi tenang pada kerbau sangat tinggi, mencapai 70 - 80%. Gejala birahi kerbau umumnya tidak sejelas pada sapi, baik perubahan pada alat kelamin luar, leleran vulva maupun tingkah laku seksualnya. Ditambah dengan kebiasaannya senang berkubang akan menyebabkan gejala birahinya lebih sulit diamati. Suatu cara mengatasinya yaitu dengan menerapkan teknis sinkronisasi birahi. Cara ini menggunakan sediaan Progestagen dan Prostaglandin F-2. Dengan teknik ini problema deteksi birahi dapat diatasi, sehingga pelaksanaan IB dapat dioptimalisasi.
Prinsip Sinkronisasi Birahi
Sinkronisasi birahi merupakan suatu metode untuk menimbulkan gejala birahi secara bersama-sama, dalam selang waktu yang pendek dan dapat diramalkan pada sekelompok hewan. Tujuannya untuk memanipulasi proses reproduksi, sehingga hewan akan terinduksi birahinya, dapat diinseminasi serentak dan dengan hasil fertilitas yang normal. Penggunaan teknik sinkronisasi birahi akan mampu meningkatkan efisiensi produksi dan reproduksi kelompok ternak, disamping juga mengoptimalisasi pelaksanaan IB dan meningkatkan fertilitas kelompok.
Sinkronisasi pada kerbau sama dengan yang digunakan pada sapi. Terdapat dua cara, yang pertama dengan melisiskan CL (Corpus Luteum) misalnya dengan prostaglandin. Yang kedua substitusi CL dengan progestagen. Pada prinsipnya semua cara sinkronisasi birahi untuk sapi bisa diterapkan untuk kerbau. Lisisnya CL akan diikuti dengan pembebasan hormon gonadotrophin yang menyebabkan birahi dan timbulnya proses ovulasi. Substitusi CL dengan pemberian progesteron eksogen akan menyebabkan penekanan pembebasan hormon gonadotrophin dari ptuitaria anterior. Penghentian pemberian progesteron eksogen ini akan diikuti dengan pembebasan hormon gonadotrophin secara tiba-tiba yang berakibat terjadinya birahi dan ovulasi serentak.
Sinkronisasi Birahi dengan Prostaglandin
Seperti halnya sapi, sinkronisasi birahi pada kerbau umumnya menggunakan prostaglandin atau senyawa analognya. Penggunaan prostaglandin sangat memungkinkan karena banyak tersedia di pasaran. Beberapa senyawa prostaglandin yang tersedia antara lain 1) Reprodin (Luprostiol, Bayer, dosis 15 mg), 2) Prosolvin ( Luprostiol, Intervet, dosis 15 mg), 3) Estrumate (Cloprostenol, ICI, dosis 500 mg) dan Lutalyse (Dinoprost, Up John, dosis 25 mg).
Cara standar sinkronisasi birahi dengan prostaglandin ini meliputi 2 kali penyuntikan dengan selang 10-12 hari. Birahi akan terjadi dalam waktu 72-96 jam setelah penyuntikan kedua. Pelaksanaan inseminasi dilakukan 12 jam setelah kelihatan birahi. Atau, sekali pada 80 jam setelah penyuntikan kedua.
Sinkronisasi Birahi dengan Progestagen
Progestagen mempunyai beberapa keunggulan untuk sinkronisasi birahi dibanding dengan PGF-2. Keunggulan tersebut antara lain mampu meningkatkan fertilitas, dapat digunakan pada hewan yang mengalami inaktivitas ovarium dan sinkronisasinya terjadi lebih serentak. Pemberian progesteron untuk sinkronisasi birahi pada kerbau muncul beberapa tahun terakhir ini. Sediaan progesteron yang paling banyak digunakan antara lain adalah Progesteron Releasing Intra Vaginal Device (PRID). Sediaan ini berupa implan intra vaginal terbuat dari karet silikon, berbentuk spiral. Progesteron sintetik tersimpan di dalam implan tersebut dan akan dibebaskan secara pelan-pelan lewat selaput lendir vagina. Pemasangan implan intravagina biasanya selama 15 hari, dan birahi akan timbul pada waktu 48-72 jam setelah pengambilan implan. Angka birahi yang ditimbulkan dapat mencapai 100%, namun angka konsepsi dari inseminasi pertama masih cukup rendah, sekitar 45%. Suatu implan progesteron intravagina yang baru, adalah Controlled Internal Drug Release (CIDR). Implan ini diinsersikan kedalam vagina selama 15 hari dan menghasilkan angka konsepsi 58-66%. Implan CIDR terbuat dari karet silikon, tetapi berbentuk huruf T, sehingga tak mudah lepas walaupun dipasang pada kerbau tua dan juga tidak merangsang timbulnya vaginitis. Progesteron yang terkandung di dalamnya (1,9 gram) merupakan progesteron alam, sehingga mudah dideteksi dalam darah dan mempunyai waktu paruh yang sangat pendek. Sifat ini memberikan respon pembebasan gonadotrophin yang lebih nyata. Sifat lain yang disukai dari CIDR adalah dapat dipakai berulang-ulang, sampai 5 kali dengan fertilitas yang sama, karena kandungan progesteronnya yang tinggi.
(Penulis Inang Sariati)
Sumber 1. Sujarwo S, sinkronisasi birahi pada kerbau untuk meningkatkan produksi dan reproduksi kelompok ternak, disamping juga mengoptimalisasi pelaksanaan inseminasi buatan dan meningkatkan fertilitas kelompok
2. Pedoman Teknis Kegiatan Operasional PSDS 2014, Ditjen Peternakan, 2010