Ikan betutu dikenal dengan berbagai sebutan di berbagai daerah dan negara: ada yang menyebut dengan nama “ketutu” (disingkat K22), ada yang menyebut “gabus malas”, “bakut”, “gloso”, “bloso”, boso, “boboso”, “bodobodo”, “ikan malas”, “ikan hantu”, “sun hock” (Cina), “marble goby” atau “marble sleeper” (Inggris), dan ada pula yang menyebut dalam bahasa Latin “oxyeleotris marmorata”.
Ini bukan spesies baru di Negara kita, justru sebaliknya ada yang menyatakan sebagai ikan asli perairan Indonesia yang habitatnya hidup di lingkungan air payau atau air tawar yang tenang dan dangkal seperti sungai, danau, rawa, waduk dan lain sebagainya dan banyak ditemukan di Pulau Sumatera, Kalimanta, dan Pulau Jawa.
Sebagai salah satu komoditas produksi hasil perikanan dalam negeri, ikan betutu memang tidak sepopuler ikan lele, gurame atau nila yang sudah dibudidayakan secara luas dan massal oleh masyarakat dengan kapasitas dan volume produksi yang boleh dibilang sudah hampir “over product”. Namun demikian, di balik ketidak-populerannya itu ditambah berbagai macam khasiat dan kandungan gizinya justru membuat ikan ini tergolong ikan langka yang sangat diminati oleh konsumen dalam maupun luar negeri dari kalangan eksekutif dengan harga jual yang juga selangit. Sebagai misal, pembeli asal Singapura menawar ikan betutu Sulawesi Utara dengan harga Rp. 300 ribu/kg dan minta kiriman 100 ton setiap minggu. Padahal produksi ikan betutu di seluruh Indonesia setiap bulannya hanya mencapai kisaran puluhan ton. Jelas hal itu masih jauh dari permintaan pasokan pasar luar negeri.
Sementara itu di pasar lokal, menu masakan ikan betutu juga telah masuk di kota-kota besar seperti Palembang, Medan, Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, dan Yogyakarta. Tarip menu ikan betutu di hotel-hotel berbintang berkisar antara Rp 250.000,00 – Rp 300.000,00 untuk satu porsi dengan ukuran 0,8 kg -1 kg. Sedangkan harga ikan betutu hidup di tingkat tengkulak atau brooker bervariasi antara Rp 75.000,00 – Rp 100.000,00 per kilogramnya.
Ada yang mengatakan, ikan betutu merupakan ikan yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi bukan hanya di konsumsi lokal melainkan juga merupakan komoditas ekspor. Harga ikan betutu di tingkat eksportir berkisar Rp.120.000-Rp.590.000 perkilogramnya, untuk ukuran 300 – 400 g/ekor.
Usaha budi daya ikan betutu hingga saat ini sebagian besar masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam, sudah gitu pelaku usahanya juga belum begitu banyak. So, masih terbuka lebar peluang bagi kita semua untuk mencoba merintis usaha sungguhan ataupun sampingan di bidang yang satu ini. Apalagi bila diketahui, ikan betutu itu bisa dibudidayakan dengan mudah melalui berbagai media, baik itu kolam tanah (tambak), keramba apung, kolam semen, bak fiber, maupun di kolam terpal. Tetapi lebih afdlolnya ya di kolam tanah (tambak) atau setidaknya dalam sistem keramba apung. Apa sebab? Karena melihat sifat dan kebiasaan makannya, ikan ini lebih menyukai pakan hidup berupa ikan-ikan kecil daripada pakan buatan (pellet). Dan caranya mencari mangsa juga tidak agresif, hanya pasif (malas), hanya menunggu dan memangsa makanan yang lewat di depan mulutnya. Dengan budidaya di kolam tanah atau keramba apung di rawa atau waduk seperti yang saya kembangkan sekarang ini, maka nyaris kita tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar untuk pemberian pakan, karena di kolam tanah ataupun rawa dan waduk, ikan-ikan kecil seperti udang rawa/waduk (cakung), wader pari, dan lain-lain sebagai mangsanya telah tersedia cukup banyak dan datang menghampiri sendiri untuk dimangsa oleh si betutu.
Dengan sistem keramba apung maka kita tidak perlu lagi resah karena merasa tidak memiliki cukup lahan darat ataupun tambak untuk mengembangkan usaha budi daya perikanan. Kita, kalau mau, masih bisa mengembangkan usaha budi daya perikanan dengan cara memanfaatkan sungai, rawa, waduk, danau yang ada di lingkungan kita melalui sistem keramba apung. Bukankah negara kita ini memiliki banyak wilayah perairan umum (laut, bengawan, sungai, danau, rawa, kali, dan lain sebagainya)? Dengan sistem keramba maka biaya operasionalnya sangat murah meriah. Sebagai misal, kita tidak perlu lagi mikir mengganti air, memperbaiki pematang, menambal kolam, dan lain sebagainya. Dengan keramba apung maka cara pemanenan pun bisa dilakukan secara simpel dan praktis, bahkan bisa dilakukan seorang diri tanpa harus meminta bantuan tenaga kerja lain (kuli/preman).
Namun demikian, budidaya ikan betutu bukannya tidak ada tantangan dan hambatan. Salah satu tantangannya yang sering membuat kita nyaris frustrasi adalah pertumbuhannya yang sangat lamban. Dari benih ukuran 5 cm untuk bisa mencapai berat 3 ons atau 4 ons (sekitar 20-25 cm) butuh waktu tidak kurang dari 8-12 bulan. Sementara dari segi hambatan yang paling terasa dalam budidaya ikan betutu ini adalah masalah ketersediaan benih yang masih amat langka, karena selama ini kebanyakan masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam, yang sudah barang tentu kapasitas produksinya tidak bisa stabil, kadang banyak kadang sedikit. Apalagi bila diingat, penyebaran ikan betutu ini belum merata, hanya di daerah-daerah tertentu (tidak semua perairan tawar terdapat spesies ikan betutu). Dan kalaupun di daerah-daerah tertentu ada yang sudah berhasil mengembangkan teknologi pemijahan, baik secara alami, kawin suntik atau dengan bantuan hormone tertentu, namun kuantitas hasil produksinya juga masih dibilang jauh dari cukup. Nah, sekarang saatnya berhenti bicara, kita simak saja pesan iklan yang satu ini: “Talk less Do more”, Selamat berkarya, and sukses selalu buat anda. Jayalah perikanan Indonesia. Dahhh…!
Sumber : http://malesmania.wordpress.com/
www.jendelahewan.blogspot.com