Rabu, 16 Mei 2012

Gajah, mahluk yang besar namun sentimental


Gajah yang selalu menjadi lambang dari sesuatu yang besar dan kuat, kini terancam punah. Ikuti wawancara Nuim Khaiyath bersama Fikri Pohan, seorang pawang gajah di Flying Squad WWF Taman Nasional Tesso Nilo, Riau soal seluk beluk kehidupan gajah.

Organisasi perlindungan lingkungan hidup dan marga satwa, World Wildlife Fund (WWF) memperingatkan bahwa populasi gajah Sumatera akan punah dalam waktu 30 tahun bila habitat alamiahnya tidak diselamatkan dari penjarahan manusia.

Apabila area habitat gajah liar terus direbut oleh manusia, maka makhluk yang pernah digunakan oleh Hannibal, sekitar tahun 200-an sebelum Masehi untuk menggasak Roma ini hanyalah akan menjadi nama dan kenangan belaka.

Kini, WWF telah membentuk satuan tugas (satgas) khusus bernama Flying Squad WWF untuk Taman Nasional Tesso Nilo, Riau. Tujuan satgas khusus adalah untuk mengasuh gajah dalam konservasi. Salah seorang pawang gajah adalah Fikri Pohan. 

Dalam wawancara dengan Radio Australia siaran Bahasa Indonesia, Fikri menjelaskan bahwa gajah-gajah asuhannya sering dikerahkan untuk mengamankan habitat manusia yang diserang gajah liar.

Ia pun mengungkapkan bahwa gajah sebenarnya sangat sentimental dan emosional. Misalnya, saat ada gajah yang mati, maka biasanya gajah-gajah dari gerombolan lain akan melakukan "ziarah" ke tempat di mana rekannya mati.

Sebagai seorang pawang, ia pun merawat gajah-gajah dengan penuh kasih sayang. Misalnya, memandikan gajah-gajah asuhannya dua kali sehari, yang memakan waktu sekitar satu jam.

Dalam wawancara ini pun, Fikri menceritakan kehidupan pribadinya. Melalui gajahlah, ia akhirnya menemukan jodohnya yang juga seorang perawat gajah. Uniknya, saat menggelar upacara pernikahan mereka, gajah-gajah asuhannya ikut mengiringi dalam ijab kabul.