Minggu, 19 Juni 2011

Menekan Risiko Usaha Sapi Perah

Industri susu dalam negeri belum menunjukkan kinerja berarti meski potensi kontribusinya sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Indikator lambannya pertumbuhan dan optimalisasi potensi kontribusinya tampak dari masih rendahnya produksi susu dan populasi sapi perah.
Berdasarkan data Gabungan Koperasi Susu Indonesia, produksi susu segar nasional sebanyak 1,3 juta-1,4 juta liter per hari. Memasok antara 20 dan 30 persen dari kebutuhan susu nasional.
Tentu ada yang salah dalam kebijakan persusuan nasional yang menyebabkan usaha ternak sapi perah di Tanah Air tidak tumbuh optimal.
Apalagi bila melihat besarnya peluang bisnis dan potensi keuntungan yang didapat dari usaha ternak sapi perah.
Omzet Rp 5,48 triliun
Dengan produksi susu segar lokal yang hanya 20-30 persen dari total kebutuhan susu nasional, Indonesia diperkirakan masih harus mengimpor bahan baku susu 4 juta-5 juta liter setara susu segar per hari.
Bila rata-rata produksi susu dalam negeri 10 liter per ekor, setidaknya butuh 400.000- 500.000 ekor lagi sapi perah yang laktasi (menyusui) untuk memenuhi kekurangan produksi. Nilai ekonomi yang bisa digerakkan dari usaha sapi perah itu amat besar.
Dengan tambahan produksi susu segar sebanyak itu, akan ada tambahan omzet dari penjualan susu Rp 12 miliar-Rp 15 miliar per hari atau rata-rata Rp 4,28 triliun-Rp 5,48 triliun per tahun. Hitungan ini dengan asumsi harga Rp 3.000 per liter.
Berputarnya uang sebesar itu di pedesaan tentu akan mampu mengguncangkan ekonomi desa, bahkan menjalar ke kota. Makin besar lagi perputaran uangnya jika susu segar tersebut diolah oleh industri pengolahan susu di desa-desa sehingga menghasilkan nilai tambah yang bisa lima kali lipat lebih besar.
Jika pengembangan sapi perah dilakukan dengan melibatkan masyarakat kelas menengah-bawah, bisa saja mereka tidak akan lagi â₝mengemisâ₝ pekerjaan untuk sekadar menjadi TKI di negara lain yang kerap menjadi korban kekerasan.
Abdul Rosyid, misalnya. Kini dia memiliki 12 sapi perah. Tujuh ekor induk dan lima ekor laktasi. Produksi susu peternak warga Pujon, Malang, Jawa Timur, ini 72 liter per hari.
Dengan harga susu Rp 3.000 per liter, pendapatan kotor hariannya mencapai Rp 216.000 atau Rp 6,48 juta per bulan.
Pendapatan itu masih dipotong untuk pembelian konsentrat dan singkong sebesar Rp 88.000 per hari. Belum lagi untuk pembelian rumput saat musim kemarau Rp 5.000 per ikat. Pendapatan bersih per bulannya sekitar Rp 4 juta.
Selain dari susu, juga keuntungan tambahan lain seperti mereka tak perlu lagi membeli pupuk untuk tanaman pertaniannya. Tak perlu membeli minyak tanah atau gas untuk memasak karena bisa memanfaatkan energi biogas.
Modal besar
Usaha sapi perah memerlukan modal besar. Harga sapi perah bunting lima bulan saat ini mencapai Rp 13 juta-Rp 14 juta per ekor. Jika membeli sapi perah yang siap produksi bisa Rp 18 juta-Rp 20 juta.
Tentu saja memelihara satu sapi tidak cukup efisien untuk menekan biaya produksi. Paling banter pendapatannya hanya Rp 400.000-Rp 500.000 per bulan. Itu pun dengan syarat ternak diurus sendiri dan sudah tersedia lahan produksi pakan hijauan. Tidak untung bila masih harus membeli pakan, konsentrat, vitamin, dan mineral.
Masyarakat yang tertarik untuk berinvestasi di usaha ternak sapi perah harus mempertimbangkan sarana penampungan dan pengangkutan susu segar dari rumah produksi hingga sampai ke pabrik.
Sarana penampungan dan pengangkutan susu sudah ada di daerah yang sudah tumbuh sentra usaha sapi perah. Di Pujon, misalnya, setidaknya ada 31 tempat penampungan susu yang tersebar. Tiap-tiap unit mampu menampung susu dengan volume 2.500-5.000 liter per sekali tampung.
Dengan adanya tempat penampungan itu, pemain baru usaha sapi perah sekalipun bisa langsung menyetor susu ke penampungan.
Akan tetapi, masyarakat pemula yang ingin menjalankan usaha ternak sapi perah di luar daerah sentra sapi perah jangan coba-coba, kecuali bermodal kuat. Hal itu mengingat investasi di unit pendingin di penampungan-penampungan nilainya ratusan juta rupiah.
Masyarakat kelas menengah ke bawah memang tak bisa bermimpi menjalankan usaha budidaya sapi perah meski potensi daerahnya mendukung. Kecuali mereka mau bekerja sama dengan peternak lain untuk mengusahakan secara bersama-sama dalam skala ekonomi yang lebih besar. Itu pun mereka masih terbentur dengan tak adanya infrastruktur pendukung, seperti unit pendingin dan alat transportasi.
Sekalipun telah mengamankan usaha pada tingkat budidaya, sarana penampungan dan transportasi tersedia, belum berarti peternak sapi perah bisa lega karena mereka masih harus dihadapkan dengan fluktuasi harga susu dunia yang acap kali mengimbas ke dalam negeri.
Meski begitu, sangat mungkin pemerintah dan swasta menekan risiko kegagalan usaha sapi perah. Swasta sendiri bisa memberikan jaminan pasar dengan harga wajar agar usaha sapi perah tumbuh subur, pendapatan masyarakat naik sehingga konsumsi susu bertambah.
Kecenderungan swasta yang ingin mendapatkan untung besar sesaat dengan mengabaikan peluang menumbuhkan usaha sapi perah dalam negeri justru akan menjadi bumerang. Konsumsi susu masyarakat tidak ada meningkat karena daya beli rendah akibat tak adanya penghasilan.
Sementara pemerintah mestinya melakukan dua hal. Pertama, memberikan dukungan dalam bentuk unit penampungan susu lengkap dengan unit pendingin, dan yang tak kalah penting mobil khusus pengangkut susu segar.
Kedua, menjaga stabilitas harga susu dalam negeri agar tetap pada kisaran yang menguntungkan bagi peternak dan tak begitu terpengaruh fluktuasi harga susu dunia. Jika dua permintaan ini dipenuhi, masyarakat tidak akan takut meminjam dana di bank untuk memulai usaha sapi perah karena sanggup memenuhi kewajibannya.


Sumber :kompas