Selasa, 12 Juli 2011

Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatraensis)


Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis)merupakan satu-satunya dari subspesies Harimau yang masih tersisa di Indonesia. Keberadaannya hingga saat ini semakin mengkhawatirkan. Kehilangan habitat dan mangsa (Bovidae dan Cervidae) menyebabkan satwa yang hidup di pulau sumatera ini semakin terancam keberadaannya. Saat ini diperkirakan berkisar 400-500 ekor yang masih tersisa di alam (Seidenstiker,1999).

Panjang Harimau Sumatera jantan dapat mencapai 2,2 – 2,8 meter, sedangkan betina 2,15 – 2,3 meter. Tinggi diukur dari kaki ke tengkuk rata-rata adalah 75 cm, tetapi ada juga yang mencapai antara 80 – 95 cm, dan berat 130 – 255 kg. Hewan ini mempunyai bulu sepanjang 8 – 11 mm, surai pada Harimau Sumatera jantan berukuran 11 – 13 cm.

Bulu di dagu, pipi, dan belakang kepala lebih pendek. Panjang ekor sekitar 65 – 95 cm (Direktorat Pelestarian Alam, 1986 ; Hafild dan Aniger, 1984 ; Kahar, 1997 ; Macdonald, 1986 ; Mountfort, 1973 ; Saleh dan Kambey, 2003 ; Sutedja dan Taufik, 1993 ; Suwelo dan Somantri, 1978 ; Treep, 1973)

Belang harimau sumatra lebih tipis daripada subspesies harimau lain. Subspesies ini juga punya lebih banyak janggut serta surai dibandingkan subspesies lain, terutama harimau jantan.

Ukurannya yang kecil memudahkannya menjelajahi rimba. Terdapat selaput di sela-sela jarinya yang menjadikan mereka mampu berenang cepat. Harimau ini diketahui menyudutkan mangsanya ke air, terutama bila binatang buruan tersebut lambat berenang. Bulunya berubah warna menjadi hijau gelap ketika melahirkan.


Habitat:

Harimau Sumatera, seperti halnya dengan jenis-jenis harimau lainnya, adalah jenis satwa yang mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya di alam bebas. Kondisi mutlak yang mempengaruhi pemilihan habitat seekor harimau adalah :

  1. Adanya habitat dengan kwalitas yang baik termasuk vegetasi cover sebagai tempat berteduh dan beristirahat agar bisa terlindung dari dari panas dan sebagai tempat untuk membesarkan anak serta berburu.
  2. Terdapat sumber air, karena satwa ini hidupnya sangat tergantung pada air untuk minum, mandi, dan berenang
  3. Tersedianya mangsa dalam jumlah yang cukup.
Tipe lokasi yang biasanya menjadi pilihan habitat Harimau Sumatera di Indonesia bervariasi, dengan ketinggian antara 0 – 3000 meter dari permukaan laut, seperti :
  1. Hutan hujan tropik, hutan primer dan sekunder pada dataran rendah sampai dataran tinggi pegunungan, hutan savana, hutan terbuka, hutan pantai, dan hutan bekas tebangan
  2. Pantai berlumpur, mangrove, pantai berawa payau, dan pantai air tawar
  3. Padang rumput terutama padang alang-alang
  4. Daerah datar sepanjang aliran sungai, khususnya pada sungai yang mengalir melalui tanah yang ditutupi oleh hutan hujan tropis
  5. Juga sering terlihat di daerah perkebunan dan tanah pertanian
  6. Selain itu juga banyak harimau ditemui di areal hiutan gambut.

Makanan:

Harimau Sumatera termasuk jenis Carnivora yang biasanya memangsa : Rusa Sambar (Cervus unicolor), Kijang (Muntiacus muntjak), Kancil (Tragulus sp.), dan Babi hutan liar (Sus sp.). Kerbau liar (Bubalus bubalis), Tapir (Tapirus indicus), Kera (Macaca irus), Langur (Presbytis entellus),Landak (Hystrix brachyura),Trenggiling (Manis javanica), Beruang madu (Heralctos malayanus), jenis-jenis Reptilia seperti kura-kura, ular, dan biawak, serta berbagai jenis burung, ikan, dan kodok dan jenis-jenis satwa liar lainnya.

Hewan peliharaan atau ternak yang juga sering menjadi mangsa harimau adalah Kerbau, kambing, domba, sapi, Anjing dan ayam. Biasanya hewan-hewan ini diburu harimau bila habitat harimau terganggu atau rusak sehingga memaksa harimau keluar dari habitatnya ke pemukiman atau persediaan mangsa di alam bebas sudah habis atau sangat berkurang jumlahnya.

Untuk memenuhi kebutuhan makannya, harimau berburu 3 – 6 hari sekali, tergantung besar kecil mangsa yang didapatkannya. Biasanya seekor harimau membutuhkan sekitar 6 – 7 kg daging per hari, bahkan kadang-kadang sampai 40 kg daging sekali makan. Besarnya jumlah kebutuhan ini tergantung dari apakah harimau tersebut mencari makan untuk dirinya sendiri atau harimau betina yang harus memberi makan anak-anaknya (Macdonald, 1986 ; Mountfort, 1973).

Masa hidup seekor harimau adalah sekitar 10 – 15 tahun. Harimau yang tinggal di penangkaran umumnya lebih lama lagi, dapat mencapai 16 – 25 tahun (Macdonald, 1986).

Reproduksi

Harimau merupakan satwa dengan tingkat perkembangbiakan yang cukup tinggi. Kematangan secara seksual harimau betina adalah pada usia 3 – 4 tahun, sedangkan harimau jantan pada usia 4 – 5 tahun. Lama kehamilan harimau betina berkisar 102-110 hari Jumlah anak harimau pada sekali kelahiran jumlahnya berkisar antara 1 – 6 ekor, dan bahkan kadang-kadang lahir 7 ekor, tetapi dari jumlah tersebut yang mampu bertahan dan hidup sampai dewasa hanya dua atau tiga ekor saja. Harimau betina selama hidupnya dapat melahirkan anak dengan jumlah total sampai 30 ekor, dan setiap tahun dapat melahirkan anak. Jarak antar kelahiran kurang lebih 22 bulan, atau 2–3 tahun, tetapi dapat lebih cepat bila anaknya mati.

Harimau bukan jenis satwa yang biasa tinggal berkelompok melainkan jenis satwa soliter, yaitu satwa yang sebagian besar waktunya hidup menyendiri, kecuali selama musim kawin atau memelihara anak. Home range untuk seekor harimau betina adalah sekitar 20 km2 sedangkan untuk harimau jantan sekitar 60 – 100 km2. Tetapi angka tersebut bukan merupakan ketentuan yang pasti, karena dalam menentukan teritorinya juga dipengaruhi oleh keadaan geografi tanah dan banyaknya mangsa di daerah tersebut. Biasanya daerah teritori harimau jantan 3 – 4 kali lebih luas dibandingkan harimau betina. Di Way Kambas dalam 100 km2 di dihuni oleh 3 - 5 ekor harimau.

Harimau Sumatera merupakan satwa endemik yang penyebarannya hanya terdapat di Pulau Sumatera saja. Sebelumnya, populasi Harimau Sumatera sangat banyak tersebar, mulai dari Aceh, di daerah dataran rendah Indragiri, Lumbu Dalam, Sungai Litur, Batang Serangan, Jambi dan Sungai Siak, Silindung, bahkan juga di daratan Bengkalis dan Kepulauan Riau. Pada saat ini, jumlahnya jauh berkurang dengan penyebaran yang terbatas.

Menurut catatan yang ada pada tahun 1800 – 1900 jumlah Harimau Sumatera masih sangat banyak, mencapai puluhan ribu ekor. Pada tahun 1978, dari suatu survei diperkirakan jumlah Harimau Sumatera adalah sekitar 1000 ekor dan saat ini berkisar 500-600 ekor. Diperkirakan pengurangan jumlah Harimau Sumatera sebanyak paling tidak 30 ekor per tahun, dengan penyebab utama adalah : Konversi Hutan, Degradasi Habitat, Fragmentasi Habitat, Konflik Harimau dengan Manusia, Perburuan Harimau dan Mangsa.

Konservasi Harimau Sumatera Secara Komprehensif 

Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis) di habitat alaminya secara menyeluruh belum diketahui secara tepat, namun dapat dipastikan bahwa populasinya saat ini sudah dalam kondisi sangat kritis.

Tahun 1994 diperkirakan populasi harimau sumatera yang hidup liar hanya 500-600 ekor saja dan itupun hidup tersebar dalam populasi-populasi kecil di Dalam Kawasan Konservasi dan di Luar Kawasan Konservasi. Sementara itu Direktorat Jederal PHKA memeperkirakan setiap tahunnya 30 ekor harimau sumatera mati akibat perburuan.

Kondisi seperti ini apabila tidak ditangani secara serius dan intensif dapat dipastikan bahwa populasi harimau sumatera di alam akan menurun secara cepat dan dalam waktu yang tidak lama akan punah seperti yang telah terjadi pada harimau Bali, Kaspia dan harimau Jawa yang sudah dianggap punah.

Menurunya populasi harimau Sumatera di alam disebabkan oleh banyak factor yang saling mempengaruhi dan terjadi secara simultan. Factor-faktor penyebab tersebut diantaranya, adalah:

  1. Informasi dan pengetahuan di bidang bio-ekologi harimau sumatera masih terbatas.
  2. Menurunnya kwalitas dan kwantitas habitat harimau sumatera akibat konversi hutan, eksploitasi hutan, penebangan liar, perambahan hutan, kebakaran hutan dan lain-lain
  3. Fragmentasi Habitat akibat Perencanaan Tata Guna Lahan dan penggunaan lahan dan hutan yang kurang memperhatikan aspek-aspek konservasi satwa liar khususnya harimau sumatera.
  4. Kematian harimau sumatera secara langsung sebagai akibat dari perburuan untuk kepentingan ekonomi, estetika, pengobatan tradisional, magis, olahraga dan hobby serta mempertahankan diri karena terjadinya konflik antara harimau dengan masyarakat.
  5. Penangkapan dan pemindahan harimau sumatera dari habitat alami ke lembaga konservasi eksitu karena adanya konflik atau kebutuhan lain.
  6. Menurunya populasi satwa mangsa harimau karena berpindah tempat maupun diburu oleh masyarakat.
  7. Rendahnya unsur-unsur management pengelola konservasi harimau sumatera.
  8. Rendahnya kesadaran masyarakat dalam konservasi alam dan rendahnya penegakan hukum dibidang “Wildlife Crime” telah pula mempercepat penurunan populasi harimau sumatera di alam.
Untuk mencegah terjadinya kepunahan harimau sumatera dan memulihkan kembali populasi-populasi harimau yang berada pada tingkat tidak sehat ke tingkat populasi sehat diperlukan tindakan yang secara simultan dapat mengatasi faktor-faktor penyebab kepunahan harimau sumatera tersebut di atas.

Sumatera Tiger Conservation Program

Sebagai bentuk Kerjasama antara Departemen Kehutanan dengan The Tiger Foundation Canada dan Sumatran Tiger Trust Inggris berupaya untuk mengembangkan program konservasi harimau sumatera yang secara komprehensip dapat mengatasi faktor-faktor penyebab menurunnya populasi harimau sumatera. Upaya konservasi yang dilaksanakan oleh Program Konservasi Harimau sumatera di antaranya adalah:

  1. Melakukan studi bioekologi harimau sumatera.
  2. Melakukan perluasan habitat harimau sumatera yang berada diluar kawasan konservasi sebagai kawasan yang dilindungi untuk konservasi harimau sumatera.
  3. Meningkatkan kegiatan perlindungan harimau sumatera dan habitatnya.
  4. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan konservasi alam dan meningkatkan kwalitas penegakan hukum dibidang ”Wildlife Crime”
  5. Meningkatkan kwalitas penanganan konflik antara harimau dengan masyarakat yang dapat menjamin kelesatrian harimau sumatera.
  6. Monitoring populasi harimau sumatera dihabitat alaminya dalam jangka panjang.
  7. Meningkatan kwalitas sumber daya manusia dan kerjasama pengelolaan antara seluruh institusi yang berkepentingan terhadap kelestarian harimau sumatera.
  8. Mengembangan Strategi Konservasi Harimau Sumatera di Masa Depan

Bioekologi Harimau Sumatera

Harimau Sumatera atau Panthera tigris sumatrae (Pocock, 1929) secara taksonomi dalam biologi termasuk dalam :

Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Infra kelas : Eutheria
Ordo : Carnivora
Sub ordo : Fissipedia
Super famili : Felloidea
Famili : Felidae
Sub famili : Pantherina
Genus : Panthera
Spesies : Panthera tigris
Subspesies : Panthera tigris sumatrae

Selain Panthera tigris sumatrae masih terdapat tujuh subspesies lain yang juga termasuk dalam spesies Panthera tigris yaitu :

  • Harimau India atau Harimau Bengala (Panthera tigris tigris),
  • Harimau Siberia (Panthera tigris altaica),
  • Harimau Cina atau Amoy (Panthera tigris amoyensis),
  • Harimau Indo-Cina (Panthera tigris corbetti),
  • Harimau Kaspia (Panthera tigris virgata) yang punah sekitar tahun 1950,
  • Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica), terdapat di Jawa, Indonesia, dinyatakan punah sekitar tahun 1980, dan
  • Harimau Bali (Panthera tigris balica), terdapat di Bali dan dinyatakan punah tahun 1937.

Monitoring Populasi Harimau dan Habitatnya Jangka Panjang

Untuk mengetahui populasi, penyebaran dan pola aktivitas harimau sumatera di habitatnya, Program Konservasi Harimau Sumatera melaksanakan pemotretan dengan menggunakan Camera Infra merah.

Camera Inframerah dipasang ditempat-tempat lintasan harimau yang beroperasi selama 24 jam dalam jangka waktu tertentu. Secara otomatis camera akan memotret dan mencatat waktu setiap individu yang melewati lensa camera. Dengan demikian camera tidak saja akan memotret satwa harimau tetapi juga dan satwa mangsa harimau. Dengan menggunakan camera inframerah dalam jumlah yang cukup dan waktu yang lama, akan diperoleh data populasi dan penyebaran harimau sumatera dengan akurasi yang tinggi.

Harimau mati meninggalkan belangnya.............. 

Demikian pula untuk mengidentifikasi setiap individu harimau sumatera digunakan analisa pola loreng yang ada pada kulitnya, karena setiap individu harimau memiliki pola loreng yang berbeda dengan individu yang lain. Perbedaan pola loreng pada kulit harimau tersebut sama halnya dengan pola sidik jari manusia.

Selain dapat untuk mengidentifikasi individu harimau, hasil pemotretan dengan camera inframerah juga dapat digunakan untuk mengetahui pola aktifitas harian harimau sumatera, kepadatan dan keragaman jenis satwa mangsa juga keanekaragaman satwa liar lainnya. Pengembangan GIS dalam pengelolaan dan monitoring habitat dan penyebaran harimau sumatera juga menjadi bagian penting dalam kegiatan Program Konservasi Harimau Sumatera. Untuk itu secara periodik dilakukan pembaharuan data dan informasi sesuai perkembangan di lapangan.


Populasi Harimau Sumatera

Menurut catatan yang ada pada tahun 1800 – 1900 jumlah Harimau Sumatera masih sangat banyak, mencapai ribuan ekor. Pada tahun 1978, dari suatu survei diperkirakan jumlah Harimau Sumatera adalah sekitar 1000 ekor. Setelah itu Sumatera mengalami perkembangan yang sangat pesat antara lain di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan serta pembangunan pemukiman dan industri. Akibatnya habitat Harimau Sumatera semakin menurun yang otomatis berakibat pula pada populasinya. Diperkirakan saat ini populasi harimau di Sumatera sekitar 500 ekor, yang tersebar di kawasan konservasi utama 400 ekor dan di luar kawasan konservasi 100 ekor hidup.

Dari data yang ada terlihat adanya pengurangan jumlah Harimau Sumatera sebanyak kurang lebih 33 ekor per tahun. Dengan kondisi seperti ini maka apabila tidak dilakukan pengelolaan yang intensif harimau sumatera diperkirakan akan mengalami kepunahan dalam waktu sepuluh tahun mendatang.

Hasil survey dan monitoring populasi menggunakan kamera inframerah yang dilakukan dibebarapa habitat penting harimau diperoleh data populasi sebagai berikut :

  • Di Taman Nasional Way Kambas: 43-46 ekor, telah terpotret 44 individu,
  • Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh: 23-26 ekor, telah terpotret 7 individu
  • Di Kawasan Hutan Senepis-Buluhala: 11-14 ekor, telah terpotret, 9 individu

Pengembangan Kawasan Perlindungan Harimau

Habitat alami harimau sumatera sudah mengalami degradasi dan terfragmentasi mejadi habitat-habita yang kecil. Demikian populasi harimau yang hidup di dalamnya sudah terpecah menjadi populasi-populasi kecil dan tersebar.

Populasi-populasi tersebut berada dalam status populasi yang sehat, populasi kurang sehat dan populasi tidak sehat serta populasi yang terpencil.

Untuk mengetahui status populasi dan kondisi habitat alami harimau yang tersebar Program Konservasi Harimau Sumatera melakukan identifikasi dan inventarisasi habitat dan populasi yang masih memungkinkan untuk diselamatkan. Kegiatan Identifikasi dan Inventarisasi habitat dan status populasi diprioritaskan pada Kelompok Hutan Bengalis (TCU 147), Kelompok Hutan Sungai Siak (TCU 149) dan Kelompok Hutan Sungai Kampar (TCU 150).

Selain itu Program Konservasi Harimau Sumatera juga memberikan bantuan teknis dan keahlian kepada Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat yang akan memperluas, mengembangkan atau mengusulkan kawasan konservasi baru yang berfungsi pula sebagai habitat dan tempat perlindungan harimau sumatera.

Sampai dengan pertengahan Tahun 2005 kawasan hutan yang telah dilakukan study sebagai habitat penting harimau sumatera, adalah:

  1. Kelompok hutan Sei Senepis-Buluhala di Kota Dumai yang terdapat dalam wilayah TCU 147
  2. Kawasan Hutan Penyangga Bukit Tigapuluh di Kab.Tanjung Jabung Barat, Kab. Tebo di Propinsi Jambi dan Kab. Indragiri Hilir dan Kab. Kuantan Senggigi di Provinsi Riau.
  3. Sebagian Kelompok Hutan Sungai Kampar (TCU 150) yang terletak di Kab. Pelalawan, Provinsi Riau.

Penanganan Harimau Bermasalah

Berdasarkan studi lapangan yang dilakukan Program Konservasi Harimau Sumatera adanya pembukaan hutan, eksploitasi hutan dan konversi vegetasi hutan alam menjadi tanaman monokultur merupakan sumber terjadinya konflik antara harimau dengan masyarakat desa maupun tenaga kerja pembuka hutan di Kota Dumai dan sekitarnya.

Pembukaan areal hutan dan konversi hutan alam di Di Kota Dumai dan sekitarnya telah menyebabkan :

  1. Menurunnya kwantitas, kwalitas dan daya dukung habitat terhadap harimau sumatera.
  2. Menurunnya populasi dan jenis satwa mangsa harimau seperti rusa, babi hutan, kera dll oleh karena beralih tempat, mengungsi ke tempat yang lebih baik dan karena mati.
  3. Tempat berlindung dan membesarkan anak menjadi hilang.
  4. Teritorial harimau sumatera menjadi berubah.

Keadaan tersebut telah menekan harimau sumatera untuk mencari teritorial baru dan masuk ke pemukiman untuk mencari mangsa, sehingga telah menyebabkan konflik antara harimau dengan manusia. Dalam kurun waktu 1996 – 2004 lebih dari 152 kasus konflik harimau dengan masyarakat yang mengakibatkan lebih dari 25 orang meninggal dunia, puluhan orang luka-luka dan ratusan ternak milik masyarakat desa dimangsa oleh harimau. Kerugian yang di derita oleh masyarakat sekitar kelompok hutan senepis yang disebabkan oleh konflik harimau selama ini, diantaranya berupa :

  1. Rasa Takut Yang Dialami oleh masyarakat
  2. Korban Ternak Luka-Luka dan Mati
  3. Korban Manusia Luka-Luka dan Meninggal
Belum adanya peraturan dan ketentuan tentang penetapan status harimau bermasalah serta belum adanya prosedur penanganan terhadap harimau bermasalah telah menyebabkan keragaman dalam penetapan dan penangana harimau bermasalah. Sebagian masyarakat melakukan tindakan sendiri dan tidak memperhatikan kaidah konservasi, yaitu dengan cara melakukan penangkapan dengan jerat bahkan sampai pada pembunuhan terhadap satwa tersebut. Kondisi seperti ini apabila tidak segera ditangani maka akan terjadi tindakan yang berulang-ulang dan dianggap benar. Selain itu penangkapan harimau bermasalah oleh oknum masyarakat tertentu sering disalahgunakan untuk melakukan pemburuan dan perdagangan harimau secara liar.

Penanganan harimau bermasalah yang dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan selama ini masih terbatas pada penangkapan dan memindahkannya ke Lembaga Konservasi Eksitu. Keadaan ini kurang menjamin kelestarian harimau sumatera di habitat alaminya.

Agar penanganan harimau bermasalah dapat lebih menjamin kelestarian populasi harimau sumatera di alam, Program Konservasi Harimau Sumatera sejak Tahun 2003 mengembangkan “teknis penangkapan dan pelepasliaran kembali ke habitat alami” bagi harimau penyebab konflik.

Untuk menghindari pengaruh buruk akibat penangkapan, maka diupayakan secepat mungkin harimau yang berhasil ditangkap dengan segera dilepaskan ke habitatnya tanpa penggunaan obat bius. Sampai dengan Bulan Juni Tahun 2005 telah berhasil dilepasliarkan kehabitatnya 4 (empat) ekor harimau bermasalah di Hutan Senepis

Untuk membantu tugas-tugas Departemen Kehutanan c.q Direktorat Jenderal PHKA dalam penanganan konflik harimau, Program Konservasi telah menyusun Rancangan Protokol Penanganan Konflik antara Harimau dengan Masyarakat.