Jumat, 20 Januari 2012

PETUNJUK TEKNIS BUDIDAYA IKAN LAUT DI JARING APUNG

1. PENDAHULUAN
Budidaya ikan laut di jaring apung (floating cages) di Indonesia tergolong masih baru. Perkembangan budidaya secara nyata baru terlihat pada sekitar tahun 1989 yang ditandai dengan keberhasilan UPT Perikanan melaksanakan pemijahan / pembenihan sekaligus pembesaran ikan Kakap Putih (Lates calcarifer, Bloch) di daerah Lampung untuk tujuan komersial.
Upaya pengembangan budidaa ikan laut, terutama dalam rangka menunjang pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan perikanan Pelita VI nampak cukup cerah karena disamping didukung oleh potensi sumberdaya yang cukup besar tersebar di beberapa Propinsi seperti; Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Maluku, juga didukung oleh semakin berkembangnya pemasaran ikan laut ke luar negeri (ekspor) maupun lokal. Berkaitan dengan upaya pengembangan budidaya laut melalui pembuatan buku Petunjuk Teknis Budidaya ikan laut merupakan sebagai salah satu jalan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan petani nelayan.
2. PERSYARATAN LOKASI
Ketepatan pemilihan lokasi adalah salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha budidaya ikan laut. Karena laut yang dimanfaatkan sebagai lahan budidaya merupakan wilayah yang penggunaannya melibatkan sektor lain (Common property) seperti; perhubungan, pariwisata, dan lain-lain, maka perhatian terhadap persyaratan lokasi tidak hanya terbatas pada faktor-faktor yang berkaitan dengan kelayakan teknis budidaya melainkan juga faktor kebijaksanaan pemanfaatannya dalam kaitan dengan kepentingan lintas sektor. Dalam kaitan dengan hal tersebut, Departemen Pertanian telah mengeluarkan Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Budidaya Laut (SK. Mentan No. 473/Kpts./Um/7/1982). Agar pemilihan lokasi dapat memenuhi persyarataan teknis sekaligus terhindar dari kemingkinan pengaruh penurunan daya dukung lingkungan akibat pemanfaatan perairan di sekitarnya oleh kegiatan lain, maka lokasi yang dipilih adalah yang memenuhi kriteria, sebagai berikut:
Tabel 1. Syarat-Syarat Lokasi Budidaya
NO.
FAKTOR
PERSYARATAN MENURUT KOMODITAS
Kerapu
Kakap Putih
Kakap Merah
1Pengaruh angin dan gelombang yang kuatKecilKecilKecil
2Kedalaman air dari dasar kurung5-7 m pada surut terendah5-7 m pada surut terendah7-10 m pada surut terendah
3Pergerakan air/arus20-40 Cm/detik±20-40 Cm/det±20-40Cm/detik
4Kadar garam27-32 0/0027-32 0/0032-33 0/00
5Suhu Air Pengaruh28 C-30 C28 C-30 C28 C-30 C
6Polusibebasbebasbebas
7Pelayarantdk menghambat alur pelayarantdk menghambat alur pelayarantdk menghambat alur pelayaran
     
3. JENIS IKAN
Jenis-jenis ikan laut yang dapat dibudidayakan dipilih berdasarkan potensi sumber daya yang ada jenis ikan yang sudah umum dibudidayakan serta teknologinya yang sudah dikuasai/dihasilkan sendiri di Indonesia, guna untuk menghindari resiko kegagalan yang besar. Jenis-jenis ikan yang dimaksud adalah Kerapu Lumpur (Epinephalus tauvina), Kakap Putih (Lates calcalifer, Bloch), Kakap Merah (Lutjanus malabaricus, Bloch & Schaider). Berikut di bawah ini disajikan biologi beberapa jenis ikan yang dapat dibudidayakan secara praktis.
Tabel 2: Biologi Jenis-Jenis Ikan yang Dibudidayakan
NoUraianKerapuKakap PutihKakap Merah
 Nama Lokal
Nama Asing
Kerapu Lumpur
Greasy grouper
Kakap Putih
Seabass
Ikan Merah
Red-Snapper
 Silsilah:
Philum
Sub Philum
Klas
Sub Klas
Ordo
Famili
Genus
Species
Chrodata
Vertebrata
Pisces
Teleostei
Percomorphi
Sarranidae
Epinephelus
E. tauvina
Chrodata
Vertebrata
Pisces
Teleostei
Percomorphi
Centropornidae
Lates
L. carcarifer Bloch
Chrodata
Vertebrata
Pisces
Teleostei
Percomorphi
Lutjanidae
Lutjanus
L. malabaricus
Bloch & Scheider
 Ciri-ciri
Morphologi
Badan memanjang gepeng. Termasuk jenis Kerapu besar.
Prapenutup insang bulat, bergerigi dan agak basar pada ujung bawah Gigi-gigi pada rahang berderet dalam 2 baris. Jari-jari Sirip keras, sirip dubur 3 dan 8 lemah Sirip Punggung berjari keras 11 dan 15-16 lemah
Terdapat 3 duri pada penutup insang yang ditengah terbesar
Termasuk ikan buas dan predator Hidup perairan pantai , lepas pantai, menyendiri Soliter Dapat mencapai panjang 15 Cm umumnya 50-7 Cm Warna dasar sawo matang, agak keputihan
bagian bawahnya. Terdapat 4-6 ban warna gelap melintang badan. Totol-totol warna merah sawo di seluruh badan .
Badan memanjang gepeng, batang sirip ekor lebar Burayak umur 3-5 bulan warnanya gelap. Glondongan warnanya terang dg punggung coklat kebiruan dan berubah keabu-abuan. Sirip abu-abu gelap Mata merah cemerlang, mulut lebar dengan gerigi halus
Bag. Atas penutup insang terdapat lubang kuping bergerigig Sirip punggung berjari keras sebanyak 7-9 dan jari lemah 10-11 Sirip dubur berjari lemah 7-8 Sirip dubur berbentuk bulat
Badan memanjang melebar, gepeng kepala cembung Bag. Bawah penutup insang ergerigi
Gigi-gigi pada rahang tersusun dalam ban-ban, ada gigi taring pd bag. Terluar rahang atas Sirip punggung berjari-jari keras 11 dan lemah 14 Sirip dubur berjari-jari keras 3, lemah 8-9 Termasuk ikan buas, makannya ikan kecil dan invetebrata dasar. Hidup menyendiri di daerah pantai sampai kedalaman 60 m. Dapat mencapai panjang 45-6 Cm. Warna bag. Atas kemerahan/merah kuningan Bag. Bawah merah keputihan. Ban-ban kuning kecil diselingi
warna merah pd bag. Punggung diatas garis rusuk.
Gambar 1. Ikan Kerapu Lumpur (Epinephalus tauvina)
Gambar 2. Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer Bloch)
Gambar 3. Ikan Tambangan (Lutjanus johni)
Gambar 4. Disain Konstruksi Kurungan Apung
Gambar 5. Penempatan dan Pemasangan Pelampung pada Kerangka/Rakit
Gambar 6. Penempatan dan Pemasangan Kurungan
Gambar 7. Pengaturan dan Pemasangan Jangkar
Gambar 8. Rancangan Tata Letak Kerangka Kurungan Jaring Apung
Gambar 9. Macam-Macam Alat Tangkap Benih
4. PERSIAPAN SARANA BUDIDAYA
  1. Kerangka/rakit
    Kerangka berfungsi sebagai tempat peletakan kurungan, dapat terbuat dari bahab bambu, kayu, besi bercat anti karat atau paralon. Bahan yang dianjurkan adalah bahan yang relatif murah dan mudah didapati di lokasi budidaya. Bentuk dan ukuran rakit bervariasi tergantung dari ukuran yang digunakan. Setiap unit kerangka biasanya terdiri atas 4 (empat) buah kurungan. Lihat Gambar 4.
  2. Pelampung
    Pelampung berfungsi untuk melampungkan seluruh saran budidaya termasuk rumah jaga dan benda atau barang lain yang diperlukan untuk kepentingan pengelolaan. Bahan pelampung dapat berupa drum plastik/besi atau styrofoam (pelampung strofoam). Ukuran dan jumlah pelampung yang digunakan disesuaikan dengan besarnya beban. Sebagai contoh untuk menahan satu unit kerangka yang terdiri dari empat buah kurungan yang masing-masing berukuran (3x3x3) m³ diperlukan pelampung drum plastik/drum besi volume 200 liter sebanyak 9 buah, atau 11 buah dengan perhitungan 2 buah, untuk menahan beban lain (10/4x9) buah ditambah 2 buah untuk menahan beban tambahan. Pelampung diikat dengan tali polyethyline (PE) yang bergaris tengah 0,8-1,0 Cm. Penempatan pelampung pada kerangka dapat dilihat pada gambar 5.
  3. Kurungan
    Kurungan atau wadah untuk memelihara ikan, disarankan terbuat dari bahan polyethline (PE) karena bahan ini disamping tahan terhadap pengaruh lingkungan juga harganya relatif murah jika dibandingkan dengan bahan-bahan lainnya. Bentuk kurungan bujur sangkar dengan ukuran (3x3x3)m³ . Ukuran mata jaring disesuaikan dengan ukuran ikan yang dibudidayakan. Untuk ukuran ikan dengan panjang kurang dari 10Cm lebar mata yang digunakan adalah 8 mm (5/16 inchi). Jika panjang ikan berkisar antara 10-15 cm lebar mata jaring digunakan adalah 25 mm (1 inch), sedangkan untuk ikan dengan ukuran panjang 15-40 Cm atau lebih digunakan lebar mata jaring ukuran 25-50 mm (1-2 inch). Pemasangan kurungan pada kerangka dilakukan dengan cara mengikat ujung tali ris atas pada sudut rakit. Agar kurungan membentuk kubus/kotak digunakan pemberat yang diikatkan pada keempat sudut tali ris bawah. Selanjutnya pemberat diikatkan ke kerangka untuk mempermudah pekerjaan pengangkatan/penggantian kurungan (lihat gambar 4) untuk mencegah kemungkinan lolosnya ikan atau mencegah serangan hewan pemangsa, pada bagian atas kurungan sebaiknya diberi tutup dari bahan jaring. Lihat gambar 6.
  4. Jangkar
    Agar seluruh saran budidaya tidak bergeser dari tempatnya akibat pengaruh arus angin maupun gelombang, digunakan jangkar. Jangkar dapat terbuat dari beton atau besi. Setiap unit kurungan jaring apung menggunakan 4 buah jangkar dengan berat antara 25-50 kg. Panjang tali jangkar biasanya 1,5 kali kedalaman perairan pada waktu pasang tinggi. lihat gambar 7.
5. RANCANGAN TATA LETAK KERANGKA JARING APUNG
Pengaturan penempatan kerangka jaring apung harus mengacu kepada peraturan yang telah dikeluarkan, dalam hal ini Kepres No. 23 Tahun 1982 tentang Pengembangan Budidaya laut di Perairan Indonesia serta Petunjuk Pelaksanaannya yang telah dikeluarkan Departemen Pertanian melalui SK. Mentan No. 473/Kpts/7/UM/7/1982. Berdasarkan petunjuk pelaksanaan tersebut, pihak yang berwenang melaksanakan pengatuaran penempatan kurungan jaring apung adalah Pemerintah Daerah setempat, dalam hal ini yang bertindak senagai Instansi Teknis adalah Dinas Perikanan setempat. Penempatan kerangka jaring apung diperairan disarankan tidak lebih dari 10 (sepuluh) buah dalam satu rangkaian. Hal ini ditujukan untuk mencegah terjadinya penumpukan/pengendapan sisa makanan atau kotoran ikan serta limbah lainnya akibat terhambatnya arus, juga untuk memudahkan pengelolaan sarana dan ikan peliharaan. Disamping itu, sedapat mungkin penempatan kerangka mengacu kepada Rancangan Tata Ruang Satuan Pemukiman (RTSP) untuk memperoleh rancangan menyeluruh yang efisien, memiliki aksessibilitas yang tinggi serta aman bagi pelaksanaan kegiatan budidaya. lihat gambar 8.
6. PENGELOLAAN KELOMPOK USAHA BERSAMA
  1. Pengaturan Pola Tanam
    Usaha budidaya laut dengan skala besar selalu dihadapkan dengan kendala baik pada saat memuai kegiatan dan pengelolaan maupun pemanenan dan pemasaran hasil. Bentuk kendala dan permasalahan yang ditemui antara lain berupa sulitnya memenuhi kebutuhan dan penampungan benih, saprodi dan tenaga kerja serta pelemparan hasil ke pasar. Untuk itu dalam pelaksanaan kegiatan budidaya skala besar perlu diterapkan pola tanam tertentu. Alternatif pola tanam yang akan diterapkan oleh setiap KK adalah melakukan penanaman pada 1 unit kurungan jaring apung yang terdiri dari 4 buah kurungan pada setiap minggu. 
  2. Pemasaran Hasil
    Pemasaran hasil dari usaha budidaya yang dilakukan petani/nelayan merupakan tanggung jawab Perusahaan Inti. Pelaksanaan budidaya (petani/nelayan) bersama Perusahaan Inti menentukan kesepakatan harga jual hasil panen baik untuk lokal maupun untuk ekspor.
7. PENGELOLAAN SARANA DAN IKAN PELIHARAAN
  1. Pengelolaan Sarana
    Sarana budidaya berupa kerangka/rakit, kurungan apung, pelampung dan lain-lain harus mendapat perawatan secara berkala. Kendala yang biasa terjadi pada budidaya jaring apung ini adalah pengotoran/penempelan oleh organisme penempel ini seperti teritip , algae, kerang-kerangan dan lain-lain dapat terjadi pada semua sarana budidaya yang terendam dalam air. Penempelan organisme sangat menggangu pertukaran air dan menyebabkan kurungan bertambah berat. Untuk menanggulangi organisme penempel ini , dilakukan pembersihan jaring secara periodik paling sedikit 1 bulan sekali atau tergantung pada banyak sedikitnya organisme yang menempel. Penempelan oleh algae dapat ditanggulangi dengan memasukkan beberapa ekor ikan herbivora (Siganus sp.) ke dalam kurungan agar dapat memakan algae tersebut. Pembersihan kurungan dapat dilakukan dengan cara menyikat atau menyemprot dengan air bertekanan tinggi. 
  2. Pengelolaan Ikan
    Kegiatan pengelolaan ikan yang dipelihara dikurungan adalah mengontrol dan mengawasi ikan peliharaan secara berkala, guna untuk menghindari terjadinya pertumbuhan yang tidak seragam karena adanya persaingan dalam mendapatkan makanan. Penggolongan ukuran (grading) harus dilakukan bila dari hasil pengontrolan itu terlihat ukuran ikan yang tidak seragam. Dalam melakukan pengontrolan, perlu diperhatikan dan diusahakan jangan sampai terjadi stress (keteganan) dan kerusakan fisik pada ikan.
8. OPERASIONAL BUDIDAYA
  1. Benih
    Pemenuhan kebutuhan benih apabila belum dapat dipenuhi dari hasil pembenihan yang ada, bisa dilakukan dengan cara menangkap dari perairan di sekitar lokasi budidaya dan untuk itu dapat digunakan alat tangkap seperti bubu, pukat pantai, sudu atau jala. Benih alam umumnya memiliki ukuran yang tidak seragam oleh karena itu kegiatan penggolongan ukuran (grading) perlu dilakukan. Selain itu proses aklimatisasi/penyesuaian iklim sebelum ikan dibudidayakan perlu dilakukan untuk menghindarkan kematian akibat pengaruh lingkungan/habitat yang baru. Lihat Gambar 9
  2. Pendederan
    Yang dimaksud dengan pendederan adalah kegiatan pemeliharaan benih sampai uuran tertentu hingga siap untuk dipelihara dikurungan pembesaran. Lamanya pendederan tergantung dari ukuran awal, tingkat kepadatan dari benih yang dipelihara. Sebagai contoh, untuk benih ikan Kakap putih yang berukuran kurang dari 10 Cm dengan padat penebaran 100-150 Cm diperlukan waktu satu bulan pada kurungan pendederan yang memiliki lebar mata 8 mm (5/16 inch). Selanjutnya dipindahkan ke kurungan pendederan yang memiliki lebar mata 25 mm (1 Inch) dengan kepadatan 40-60 ek/m 2 selama 2-3 bulan. 
  3. Pembesaran
    Benih ikan yang sudah mencapai ukuran 50-75 gram/ekor dengan panjang 15 cm atau lebih dari hasil pendederan, selanjutnya dipelihara dalam kurungan pembesaran yang memiliki lebar mata jaring 25-50 mm (1-2 inchi) dengan kepadatan 15-25 ek/m3 dan waktu pemeliharaan dikurungan pembesaran berkisar antara 6-8 bulan.
  4. Pakan
    Pakan adalah salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan dan moralitas ikan yang dipelihara. Oleh kjarena itu masalah kuantitas dan kualitas dari pakan yang diberikan layak dipenuhi. Ikan rucah (Trash fish) adalah jenis pakan yang biasa diberikan untuk jenis-jenis ikan laut buas (carnivora) Dalam hal ini ikan Kerapu dan ikan Kakap yang dipelihara dikurungan apung. Jumlah pakan yang diberikan tergantung dari ukuran ikan yang dibudidayakan. Pada tahap pendederan diberikan pakan sebanyak 8-10% dari total berat badan/hari, sedangkan pada saat pembesaran diberikan pakan sebanyak 3-5% dari total berat badan/hari.Rasio konversi pakan (Food Convertion Ratio) yang akan diperoleh adalah 5:1 yang berarti untuk mendapatkan penambahan berat 1 kg daging ikan diperlukan pakan sebanyak 5 kg. Frekuensi pemberian pakan tergantung pada ukuran ikan. Untuk larva dan glondongan (juvenil), frekuensi pakan yang diberikan adalah 3-4 kali/hari. Waktu pemberian pakan adalah pada siang hari.
9. PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT
Sejalan dengan perkembangan usaha budidaya ikan di laut, muncul pula beberapa masalah yang dapat menggangu bahkan menghambat perkembangan usaha tersebut misalnya hama dan penyakit ikan.
  1. Hama
    Hama yang menyerang pada usaha budidaya ikan laut lebih banyak disebabkan oleh hewan pemangsa atau pengganggu lainnya. Hama dapat menyerang apabila kerusakan pada sistem jaring-jaring yang dipergunakan sebagai kurungan pemeliharaan ilan. Kerusakan tersebut mengakibatkan masuknya hewan penggangu atau pemangsa lainnya seperi burung dan lingsang. Walaupun akibat yang ditimbulkan sangat terbatas atau relatif kecil, namun hal tersebut tidak boleh diabaikan begitu saja. Termasuk kerugian akibat adanya pencurian yang dilakukan oleh manusia. 
  2. Penyakit
    Secara umum penyakit dapat diartikan sebagai gangguan dalam fungsi atau struktur suatu organ atau bagian tubuh. Penyakit timbul dikarenakan satu atau berbagai sebab baik berasal dari lingkungan maupun dari tubuh ikan itu sendiri.
    • Hal-hal yang menyebabkan ikan terserang penyakit adalah:
      • Cara perawatan yang kurang baik
      • Makanan tidak cukup (giji dan jumlah)
      • Kekurangan zat asam
      • Perubahan suhu dan sifat-sifat air yang mendadak.
    • Gejala ikan yang terserang penyakit antara lain: kelainan tingkah laku, kurang nafsu makan, kelainan bentuk ikan, kelainan pada permukaan tubuh ikan, Penyakit insang, anus tidak normal, mata tidak normal dll. Penyakit dapat dibagi menjadi 2 golongan bila dilihat dari penyebabnya.
      1. Penyakit non Parasiter: adalah penyakit yang disebabkan oleh faktor-faktor kimia dan fisika air yang tida cocok bagi ikan seperti: perubahan salinitas air secara mendadak, polusi dan lain sebagainnya. Selain dari itu bisa juga disebabkan oleh kekurangan makanan dan gizi yang buruk, serta stress akibat penanganan yang kurang baik. 
      2. Penyakit Parasiter: Penyakit yang biasa menyerang ikan budidaya laut adalah:
        • Golongan virus
        • Golongan bakteri
        • Golongan crustacea
        • Golongan cacing
        • Golongan Protozoa
        • Golongan jamur
      3. Penanganan terhadap ikan sakit dapat dibagi atas 2 langkah yaitu:
        1. Berdasarkan teknis budidaya:
          Tindakan-tindakan yang dilakukan antara lain:
          • menghentikan pemberian pakan terhadap ikan
          • mengganti pakan dengan jenis yang lain
          • memisah-misahkan ikan tersebut dalam beberapa komponen, sehingga densitasnya menjadi rendah.
        2. Berdasarkan terapi kimia:
          Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam tahap ini adalah:
          • memeriksa sensifitas dari masing-masing obat yang diberikan pada ikan.
          • memperhatikan batas dari dosis masing-masing obat.
          • Tidak memberikan obat sembarangan kepada ikan yang sakit.
    • Cara pemberian obat:
      1. Ditenggelamkan dalam tempat budidaya.
      2. Disebarkan pada permukaan air
      3. Dicampurkan dalam pakan
      4. Dengan cara disuntikan
10. PANEN
Panen dilakukan dan disesuaikan dengan ukuran ikan yang dikehendaki atau permintaan pasar. Untuk mencapai ukuran 600-800 gram per ekor dibutuhkan waktu pemeliharaan selama 6-8 bulan dengan survival rate 80-90%. Panen dilakukan secara total di dalam satu kurungan, bisa juga dilakukan secara persial tergantung dari ukuran panen yang dikehendaki.
11. DAFTAR PUSTAKA
  1. Aji Nugroho. Murdjani M, dan Notowinarto, 1989 Budidaya Ikan Kerapu di Kurungan Apung, INFIS manual seri 104. Ditjen Perikanan dan IDRC, Jakarta.
  2. Anonim, 1989. Paket Teknologi Budidaya Laut, Seri Budidaya Kakap Putih, Ditjen Perikanan, Dit Bina Produksi, Jakarta.
  3. Anonim, 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Ikan Dalam Jaring Terapung, Ditjen Perikanan, Jakarta.
  4. Anonim, 1990/1991, Usaha Penanggulangan Serangan Penyakit Pada Usaha Budidaya Laut no. 5, BBL Lampung, Ditjen Perikanan.
  5. Djamali, A Hutomo, M. Burhanuddin dan S. Martosewojo, 1986, Sumberdaya Ikan Kakap (Lates calcarifer) dan Bambangan (Lutjanus spp) di Indonesia, Seri Sumber Daya Alam No. 130. Lon LIPI. Jakarta.
12. SUMBER
Petunjuk Teknis Budidaya Ikan Laut di Jaring Apung, Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian, 1994
13. KONTAK HUBUNGAN
Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta.