Sabtu, 17 Maret 2012

FAKTOR-FAKTOR PENGARUH, AGEN PENYEBAB DAN CARA PENULARAN PENYAKIT PADA TERNAK


 1.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyakit
Kesehatan ternak merupakan kunci penentu keberhasilan suatu usaha peternakan. Motto klasik tetap berlaku sampai saat ini, yaitu pencegahan lebih baik daripada pengobatan, sehingga tindakan-tindakan seperti sanitasi, vaksinasi dan pelaksanaan biosekuritas di lingkungan peternakan secara konsisten harus dilaksanakan.
Arti “ sehat “ bagi ternak adalah suatu kondisi dimana di dalam tubuh ternak berlangsung proses-proses normal, baik proses fisis, kimiawi , biokimiawi dan fisiologis yang normal. Sebaliknya “ sakit ” adalah kondisi ternak yang sebaliknya.
Seringkali pengobatan terhadap suatu penyakit tidak membuahkan hasil, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain harus dimengerti bahwa tidak semua penyakit dapat diobati, seperti penyakit virus. Penyakit-penyakit non infeksius harus diatasi dengan memperbaiki tatalaksana budidaya yang baik dan benar. Berdasarkan pemikiran tersebut sangat perlu untuk diketahui adanya faktor-faktor yang dapat menyebabkan penyakit pada ternak, sehingga dapat dilakukan metode penanggulangan penyakit yang efisien dan efektif.
Timbulnya penyakit pada ternak merupakan proses yang berjalan secara dinamis dan merupakan hasil interaksi tiga faktor, yaitu  ternak, agen penyakit (pathogen)dan lingkungan. Lingkungan memegang peran yang sangat penting dalam menentukan pengaruh positif atau negatif terhadap hubungan antara ternak dengan agen penyakit.
Interaksi ketiga faktor yang normal dan seimbang sebagaimana akan menghasilkan ternak yang sehat dan  tidak ada wabah penyakit.
Keseimbangan ketiga faktor di atas tidak selalu stabil, pada keadaan tertentu  akan berubah. Jika hal ini terjadi maka ternak yang dipelihara akan sakit dan menunjukkan tampilan (performance) yang tidak memuaskan.
Terdapat beberapa kondisi yang mampu menciptakan perubahan keseimbangan ketiga faktor tersebut. Kondisi-kondisi tersebut antara lain adalah (1) perubahan-perubahan  yang terjadi pada ternak, misalnya penurunan kondisi tubuh yang mungkin disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : kualitas dan kuantitas zat-zat gizi dalam pakan yang kurang, faktor-faktor yang mampu menekan timbulnya kekebalan (immunosupressif) dalam tubuh ternak, sehingga akan terjadi kegagalan dalam program vaksinasi. Di lain pihak terjadi peningkatan tantangan terhadap ternak oleh mikroorganisme yang hidup dan berkembang di sekeliling ternak akibat sistim biosekuritas yang tidak konsisten, waktu istirahat kandang yang minim, kegagalan program vaksinasi dan pengobatan (2) terjadi perubahan hanya pada aspek lingkungan, sedangkan kondisi hewan ternak dan mikroorganisme tidak berubah. Perubahan lingkungan ini mungkin disebabkan oleh perubahan iklim, perubahan suhu dan kelembaban lingkungan yang ekstrim, ketinggian tempat, kesalahan menejemen, seperti : kepadatan kandang yang tinggi, ventilasi yang jelek, intensitas cahaya yang terlalu tinggi, kegaduhan suara dan tingginya tingkat polusi. Kondidi-kondisi lingkungan demikian akan berdampak negatif bagi ternak yang berakibat penurunan kondisi tubuh ternak, sebaliknya menguntungkan bagi mikroorganisme untuk berkembang biak,  baik jumlah maupun jenisnya.
Tiga aspek usaha penting harus dilakukan guna mencegah wabah penyakit di lingkungan peternakan, yaitu  (1) usaha-usaha mengurangi jenis dan jumlah mikroorganisme, terutama yang patogen di sekeliling ternak yang dipelihara (aspek mikroorganisme) (2) usaha-usaha mencegah terjadinya kontak antara ternak yang dipelihara dengan mikroorganisme patogen (aspek lingkungan) dan (3) usaha-usaha meningkatkan daya kebal tubuh ternak yang dipelihara (aspek ternak).

Aspek Mikroorganisme

Upaya untuk mengurangi jumlah dan jenis mikroorganisme patogen di sekeliling ternak yang dipelihara dapat ditempuh melalui pendekatan-pendekatan antara lain  mengadakan identifikasi terhadap mikroorganisme secara lengkap. Identifikasi bisa dilakukan dengan deteksi terhadap sifat-sifat epidemiologis mikroorganisme, seperti  cara penyebaran, kecepatan menyebar, pola kematian ternak, gejala-gejala   klinis khas yang ditimbulkan bila menginfeksi  spesies ternak tertentu dan aspek-aspek patogenesisnya (perjalanan penyakit di dalam tubuh ternak).
Identifikasi mikroorganisme juga dapat dilakukan dengan  melakukan anamnesa  (menganalisis data tentang sejarah penyakit dalam lingkungan suatu peternakan), yang merupakan langkah awal diagnosis penyakit. Pengamatan terhadap perubahan pasca mati dan uji laboratorium akan memperkuat diagnosis. Apabila jenis mikroorganisme penyebab penyakit sudah diketahui, maka dapat diketahui pula  pola penularan penyakit dari ternak satu ke ternak yang lain, dari satu kandang ke kandang lain bahkan dari peternakan satu ke peternakan yang lain, sehingga bisa dilakukan langkah-langkah yang tepat untuk upaya pencegahan maupun tindakan pengobatan.

Aspek Lingkungan

Guna mencegah kontak antara ternak dengan mikroorganisme patogen, maka perlu dilakukan usaha-usaha antara lain adalah mengontrol lalu lintas kendaraan, alat-alat, karyawan kandang yang bisa menjadi media bagi mikroorganisme untuk masuk ke dalam lingkungan suatu flok ternak atau peternakan. Melakukan sanitasi lengkap sebagai tindakan pencegahan, baik berupa dekontaminasi maupun desinfeksi, memberantas hewan liar yang bisa berperan sebagai vektor suatu penyakit, seperti  tikus, burung liar, insekta. Manajemen all in all out sangat perlu dipertimbangkan. Pengelompokan ternak berdasarkan umur perlu dilakukan untuk mencegah penularan penyakit dari ternak berumur lebih tua ke ternak muda. Usaha lain yang harus diperhatikan juga yaitu mencegah kontaminasi bahan pakan dan air minum yang digunakan.

Aspek Ternak

Kondisi tubuh ternak yang tetap baik akan tahan terhadap serangan penyakit. Salah satu faktor terpenting guna penciptaan kondisi ternak yang ideal adalah pemilihan strain ternak secara tepat yang sesuai dengan kondisi lingkungan peternakan setempat.
Upaya lain yang bisa ditempuh untuk meningkatkan kondisi tubuh ternak, antara lain adalah pemberian pakan yang sesuai  kebutuhan, baik secara kualitas maupun kuantitas. Vaksinasi dilakukan secara tepat waktu dengan meminimalkan faktor-faktor penyebab kegagalan vaksinasi, sehingga akan menstimulir terbentuknya kekebalan ternak secara  sempurna. Penggunaan antibiotik harus terkontrol, cocok untuk menekan perkembangan atau membunuh  mikroorganisme penyebab penyakit tertentu  dan dengan dosis yang tepat. Memperlakukan ternak dengan penuh kasih sayang, tidak kasar,  memperkecil faktor-faktor yang merugikan ternak, seperti adanya parasit cacing, mikotoksin dan zat antinutrisi di dalam bahan pakan, logam-logam dalam air minum.
1.2. Agen-agen Penyebab Penyakit
Agen penyebab penyakit pada ternak dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, yaitu  a) penyebab fisik, b) penyebab kimiawi, dan  c) penyebab biologis.

Penyebab Fisik

Penyakit ternak yang disebabkan oleh agen fisik antara lain luka akibat benturan, terjatuh karena  lantai kandang yang licin pada sapi, terjepit pada ayam. Penanganan kasar oleh anak kandang sering kali menyebabkan luka-luka pada tubuh ternak.

Penyebab Kimiawi

Penyakit yang disebabkan oleh agen penyakit yang bersifat kimiawi antara lain : penyakit defisiensi dan keracunan. Penyakit defisiensi mineral, seperti kalsium menyebabkan pertumbuhan terhambat, konsumsi pakan turun, laju metabolik basal meningkat, aktivitas menurun dan osteoporosis. Defisiensi vitamin, misalnya vitamin D menyebabkan rachitis, terutama pada hewan muda dan osteomalasia pada ternak yang sudah sempurna tulangnya, namun diberi pakan dengan kadar  vitamin D yang kurang dari kebutuhan  Osteomalasia adalah suatu keadaan yang ditandai oleh dekalsifikasi sebagian tulang sehingga mengakibatkan tulang menjadi lunak dan rapuh.
Turkey Diseases merupakan penyakit akibat keracunan oleh mikotoksin yang mencemari bahan pakan pernah terjadi di Inggris dan menyebabkan kematian sampai 10.000 ekor kalkun. Mikotoksin adalah sejenis racun yang dihasilkan oleh sejenis jamur. Mikotoksin terkenal yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus disebut aflatoksin bersifat sangat toksik bagi ternak, baik unggas maupun ruminansia.
Keracunan bisa juga disebabkan oleh bahan-bahan anorganik, seperti : H2S, NH3,  CH4, merkaptan dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut sebagai kontaminan yang dibebaskan dari kotoran ternak. Amoniak memiliki arti penting pada peternakan ayam oleh karena gas tersebut tersebar luas di peternakan dan memberikan andil yang cukup besar dalam mempengaruhi  kesehatan ternak maupun dan manusia. Toleransi maksimal manusia terhadap amoniak sebesar 5 – 10 ppm dan pada unggas sebesar 15 – 20 ppm. Pada manusia, kadar amoniak 20 ppm menyebabkan iritasi mata dan saluran pernapasan. Kadar amoniak 50 ppm akan menghambat pertumbuhan babi dan apabila terjadi kontak dalam waktu yang lama menyebabkan ternak tersebut terserang pneumonia maupun penyakit pernapasan yang lain. Pada kadar tersebut broiler akan terganggu pertumbuhannya sampai 7%. Pada kadar amoniak antara 50 –100 ppm akan mengganggu pertumbuhan broiler dan pulet sebesar 15%.
Rumah Potong Hewan (RPH) juga merupakan sumber pencemaran, dimana biasanya berupa isi saluran pencernaan/feses dan bahan-bahan lain berupa sisa daging, lemak dan darah yang dibuang langsung ke sungai. Limbah tersebut mengandung N, P dan K serta kontaminan biologis yang berupa bakteri, jamur, virus, parasit, yang merupakan sumber infeksi yang bisa menular ke ternak lain dan banyak diantaranya bisa menyerang manusia.  Sumber polusi lain yang perlu diwaspadai, adalah  bahan-bahan buangan, berupa  sampah organik, bahan buangan dari industri pengolahan pangan, pabrik kertas, penyamakan kulit,  industri pembekuan udang, dan lain-lain.
Kebanyakan bahan-bahan buangan mengandung karbon sebagai unsur yang terbanyak, sehingga diperlukan oksigen untuk proses oksidasi menjadi karbon dioksida. Perlu diketahui, bahwa sebelum terbentuk CO2, mungkin akan terbentuk hasil-hasil oksidasi sementara, seperti : alkohol, asam, amina, amonia dan hidrogen sulfida. Senyawa-senyawa tersebut menimbulkan bau busuk dan bersifat racun bagi hewan dan manusia.

Penyebab Biologis

Penyebab penyakit yang berupa agen biologis antara lain : bakteri, virus, jamur, protozoa dan metazoa. Penyakit akibat agen biologis ini bersifat menular (infeksius), sedangkan agen kimiawi maupun fisik bersifat tidak menular (non infeksius).
Pada umumnya penyakit virus bersifat sangat akut karena menimbulkan angka kematian yang tinggi bagi ternak dan penyakit ini tidak dapat diobati, hanya dapat dicegah dengan sanitasi dan vaksinasi. Pengobatan pada penyakit virus dengan antibiotik dimaksudkan tidak untuk membunuh virus, namun hanya bertujuan untuk mencegah  terjadinya  infeksi sekunder oleh bakteri yang memperburuk kondisi ternak. Demikian pula pemberian vitamin dan cairan elektrolit pada penyakit virus bertujuan untuk mempertahankan kondisi tubuh ternak supaya tetap baik.
Penyakit bakterial pada ternak tidak  selalu bersifat kronis. Tingkat keparahan penyakit sangat tergantung pada jenis  dan jumlah  bakteri yang menginfeksi. Penggunaan antibiotik yang tepat sesuai dengan jenis bakteri yang menyerang bisa menghasilkan angka kesembuhan yang memuaskan, namun penggunaan antibiotik yang kurang tepat akan menyebabkan terjadinya resistensi dan meningkatkan  residu antibiotik pada produk-produk ternak.
Penyakit parasit yang disebabkan oleh parasit internal meliputi penyakit parasit cacing, seperti  nematodosis, trematodosis dan cestodosis.  Contoh penting yang lain adalah coccidiosis yang disebabkan oleh protozoa. Penyakit-penyakit parasit eksternal, antara lain  scabies atau kudisan yang sering menyerang ternak ruminansia,  disebabkan oleh Sarcoptes scabiei. Penyakit-penyakit parasit eksternal  lain yang secara ekonomis juga merugikan antara lain adalah caplak, kutu, lalat, pinjal tungau, dan lain-lain.
1.3. Cara Penularan Penyakit
Mekanisme masuknya agen penyakit ke dalam suatu peternakan sangat penting dipelajari, sehingga dapat diketahui prosedur yang tepat dalam pengendalian suatu penyakit.
Penularan penyakit dari ternak sakit ke ternak yang peka bisa terjadi melalui beberapa mekanisme yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 2 macam, yaitu   penularan secara langsung dan  secara tidak langsung.

Penularan Secara Langsung

 Penularan secara langsung merupakan penularan bibit penyakit dari ternak penderita yang secara klinis terkena penyakit atau ternak carrier yang tidak menunjukkan gejala klinis ke ternak lain yang peka. Penularan dapat terjadi saat bibit penyakit memperbanyak diri di dalam tubuh penderita, penderita mengadakan kontak dengan ternak peka. Keadaan ini sangat mungkin terjadi terutama pada peternakan dengan ternak beragam umur yang dicampur dalam satu lokasi, sebagai contoh  cara penularan  beberapa penyakit pada ayam, antara lain IInfectious Laryngotracheitis) (ILT), salmonellosis, pasteurellosis/fowl cholera, coryza (snot) dan mikoplasmosis (Chronic Respiratory Diseases, CRD). Pada ruminansia, penyakit yang dapat menular melalui kontak langsung melalui perkawinan antara lain adalah  brucellosis.
Penularan Secara Tidak Langsung
 Penularan secara tidak langsung adalah penularan bibit penyakit secara mekanis melalui perantaraan berbagai hal, antara lain  petugas kandang yang terkontaminasi, kandang dan peralatan yang tercemar, vektor yang dapat berupa  serangga, rodensia (binatang mengerat), burung liar, dan  mungkin pula penyakit yang dapat ditularkan melalui  udara/debu yang terkontaminasi  yang diterbangkan oleh angin.
Cara-cara penularan penyakit pada unggas  yang sudah banyak dikenal, antara lain  adalah penularan melalui indung telur (transovarial), permukaan kerabang telur, angin, vektor biologis, vaksin, pakan dan kantong pakan.

a. Melalui Indung Telur (Transovarial)
Penularan penyakit secara transovarial adalah penularan bibit penyakit secara vertikal dari induk kepada anak keturunannya, melalui telur. Beberapa contoh penyakit pada unggas yang dapat menular secara vertikal, antara lain adalah mikoplasmosis, pullorum, reovirus, adenovirus dan lain-lain.
 b. Melalui Permukaan kerabang Telur
Cara penularan melalui permukaan kerabang telur  sering terjadi pada bakteri Escherichia. coli dan Salmonella spp. Pada unggas, bakteri ini memasuki pori-pori kerabang telur dan menimbulkan infeksi terhadap embrio yang sedang tumbuh. Penularan semacam ini sering terjadi pada sarang telur (nest box) yang terkontaminasi oleh bakteri yang keluar dari kloaka bersama-sama feses ataupun saat telur akan dikeluarkan dan melewati kloaka. Kemungkinan pula dapat terjadi pada mesin penetasan sehingga anak ayam dapat terinfeksi secara langsung atau tidak langsung.
 c. Melalui Angin
Penularan penyakit virus, seperti ND dan ILT bisa terjadi melalui debu yang diterbangkan angin sampai radius beberapa kilometer.
d. Vektor Biologis
Penularan penyakit bisa terjadi melalui vektor biologis, seperti burung liar, tikus, serangga dan lain-lian. Penyakit influenza pada unggas dan Pasteurella spp bisa disebarkan oleh burung liar. Penyakit pasteurellosis dan salmonellosis ditularkan oleh tikus.  Serangga banyak bertanggung jawab terhadap penyebaran berbagai penyakit, antara lain koksidiosis yang diperantarai oleh mrutu (Simulium) dan agas (Colicoides). Pox (cacar ayam) ditularkan oleh nyamuk. Penyakit Marek, gumboro, salmonellosis, pasteurellosis dapat ditularkan oleh kumbang. Lalat dapat menularkan penyakit campilobakteriosis. Pada ruminansia, penyakit fasciolosis ditularkan melalui siput dan anthrax ditularkan melalui lalat kandang.
 e. Melalui Vaksin
Mycoplasma seringkali mudah mencemari vaksin hidup. Bibit penyakit lain juga dapat ditularkan melalui peralatan vaksinasi.
f. Melalui Pakan dan Kantong Pakan.
Salmonella spp, virus penyebab gumboro dan paramyxovirus dapat menginfeksi unggas yang peka melalui pakan yang terkontaminasi. Penyakit ND bisa ditularkan melalui penggunaan kantong pakan bekas.
_________________________________
Sumber Bacaan :
  • Blaha, T., 1989. Applied Veterinary Epidemiology. Development in Animal and Veterinary Sciences, 21. Elsevier. Amsterdam-Oxford-New York-Tokyo.
  • Fardiaz, S., 1992. Polusi Air dan Udara. Penerbit Kanisius, Kerjasama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
  • Rahayu, ID., 2000. Mungkinkah Mycoplasma Dicegah dan Diobati?. Infovet Edisi 071 Juni 2000.
  • Rahayu, ID., Kunci Sukses Mengatasi Kegagalan Program Vaksinasi. Poultry Indonesia, Mei – 2000.
  • Sudardjat, S., 1990. Epidemiologi Veteriner. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
  • Shane, SM.,1998. Buku Pedoman Penyakit Unggas. (Terjemahan). Alih Bahasa :  Tangenjaya dkk.. American Soybean Association.
  • Tabbu, CR., 1992. Pencemaran Akibat Industrialisasi Peternakan. Infovet 004 Agustus – Oktober 1992.
  • Unandar, T., 2001. Lingkungan dan Kesehatan Ayam. Poultry Indonesia, September 2001.